MODUL 1
ASPEK HUKUM DAN KONTRAKTUAL
Permasalahan hukum sering terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terutama berkaitan dengan kontrak, salah satu pihak diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan. Oleh karena itu, perlu untuk dipahami mengenai konsep dasar dari aspek hukum dan aspek kontraktual dalam tata hukum/perundangan yang berlaku di Indonesia dan di luar Indonesia serta mahasiswa mampu memetakan peranan aspek legal dan kontraktual dalam kontrak konstruksi.
Modul Aspek Hukum dan Kontraktual akan membahas mengenai Sistem Hukum Indonesia yang terdiri dari:
1. Hukum Perdata yang meliputi Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian
2. Perjanjian yang meliputi syarat sahnya perjanjian, akibat dari perjanjian dan berakhirnya perjanjian;
3. Wanprestasi;
4. Somasi;
5. Sanksi dan Ganti Rugi;
6. Hukum dalam Kontrak Konstruksi.
Modul ini akan dibahas dalam 2x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan mengenai aspek hukum dan kontrak pada proyek konstruksi serta memetakan peranan aspek legal dan kontraktual dalam kontrak konstruksi.
KEGIATAN BELAJAR 1.1. HUKUM PERDATA
Sistem Hukum Indonesia pada dasarnya dikelompokkan dalam hukum pidana dan perdata (delik aduan). Dasar hukum di Indonesia adalah Hukum Kontinental (Civil Law-Eropa) yang mengandalkan kitab undang-undang. Dasar hukum lainnya adalah Common Law (Anglo Saxon) yang melandaskan pada Yurisprudensi. Landasan/Sumber Utama hukum yang berlaku saat pemerintahan Belanda pada tahun 1938 yaitu Burgelijk Wetboek yang saat ini disebut Hukum Perdata Indonesia .
1.1.1. Hukum Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata berlaku sejak tahun 1945 yang terdiri dari 1993 pasal dalam 4 buku yaitu tentang ORANG, tentang KEBENDAAN, tentang PERIKATAN dan tentang PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA.
Beberapa definisi mengenai hukum perikatan adalah sebagai berikut:
1. Hukum perikatan (Verbintenissenrecht) adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyek hukum yang satu dengan lainnya dalam bidang harta kekayaan (hak dan kewajiban). Unsur-unsur yang terdapat dalam hukum perikatan adalah adanya kaidah hukum (tertulis/tidak tertulis), adanya subyek hukum, adanya obyek hukum dan dalam bidang harta kekayaan (hak dan kewajiban).
2. Hukum perikatan yang disadur dari www. konsultasihukum.com, Hukum perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hukum perikatan terdiri dari perihal perikatan dan sumber-sumbernya, macam-macam perikatan, perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang, perikatan yang lahir dari perjanjian, perihal resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa, perihal hapusnya perikatan-perikatan dan beberapa perjanjian khusus yang penting.
Perikatan dalam KUH Perdata:
Ø Perikatan Umum (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1321 KUH Perdata) mengatur mengenai sumber perikatan, prestasi, penggantian biaya, ganti rugi dan bunga akibat tidak terpenuhinya perikatan dan jenis-jenis perikatan.
Ø Perikatan dari Perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan 1351 KUH Perdata) mengatur mengenai ketentuan umum, syarat-syarat sah perjanjian, akibat perjanjian dan penafsiran perjanjian
Kontrak termasuk kontrak pekerjaan konstruksi merupakan bagian dari bentuk kesepakatan. Kontrak pekerjaan konstruksi termasuk dalam hukum PERJANJIAN.
1.1.2. Hukum Perjanjian
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian.
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
KEGIATAN BELAJAR 1.2. PERJANJIAN
1.2.1. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1) Kesepakatan para pihak;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2) Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll);
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3) Menyangkut hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4) Adanya kausa yang halal.
Sahnya kausa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum. (J.Satrio, 1992).
1.2.2. Akibat Perjanjian
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu:
(1) perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
(2) perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.
Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan, bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian dan apa yang seharusnya dilakukan jika hal tersebut terjadi? Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi. Dalam prakteknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan dianggap melakukan wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu (somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar ketentuan perjanjian (cantumkan pasal dan ayat yang dilanggar). Disebutkan pula dalam somasi tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak mematuhi somasi yang dilayangkan.
Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan bila hal tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang berwenang atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. Mengenai hal ini Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan:
”debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan wanprestsi tersebut serta bunganya. Dalam Pasal 1243 KUHPerdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal 1244 KUHPerdata bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya. Berbeda halnya jika terjadi force majeur yaitu dalam keadaan memaksa atau hal-hal yang secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka keharusan untuk mengganti segala biaya, kerugian dan bunga sebagaimana dinyatakan di atas tidak perlu dilakukan (Pasal 1245 KUHPerdata).
1.2.3. Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
2. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja;
e. putusan hakim;
f. tujuan perjanjian telah tercapai;
g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).
KEGIATAN BELAJAR 1.3. WANPRESTASI
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
KEGIATAN BELAJAR 1.4. SOMASI
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
1.4.1. Bentuk-Bentuk Somasi
1) Surat perintah
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
KEGIATAN BELAJAR 1.5. SANKSI DAN GANTI RUGI
1.5.1. Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
1.5.2. Ganti Rugi
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl). Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Menururut ketentuan pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya iklan.
2. Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi:
- Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHPdt).
- Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
- Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUHPdt). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.
KEGIATAN BELAJAR 1.6. HUKUM DAN KONTRAK KONSTRUKSI
Definisi kontrak menurut Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, Kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Kontrak kerja konstruksi menurut UU Jasa Kontruksi No 18 Tahun 1999 adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hokum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak konstruksi mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak tersebut. Kedudukan, hak dan kewajiban dari pihak-pihak tersebut baik itu pengguna jasa dan penyedia jasa adalah sama secara hukum.
Kontrak konstruksi merupakan suatu produk hukum. Elemen (bagian-bagian kontrak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, dan merupakan suatu kesatuan yang mengikat karena seluruh elemen kontrak mempunyai kedudukan dan konsekuensi hukum yang sama terhadap masing-masing pihak yang mengikat diri dalam kontrak.
Kontrak konstruksi diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 dan Peraturan No 30 Tahun 2000. Kontrak konstruksi juga diatur dalam Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.
LATIHAN SOAL
1. Sebutkan 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah!
2. Apa yang dimaksudkan dengan wanprestasi?
3. Sebutkan bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti!
4. Apa yang dimaksudkan dengan somasi?
5. Apa yang dimaksudkan dengan keadaan memaksa?
RANGKUMAN
1. Kontrak pekerjaan konstruksi merupakan bagian dari bentuk kesepakatan. Kontrak pekerjaan konstruksi termasuk dalam hukum PERJANJIAN.
2. Perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
3. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa
4. Kontrak konstruksi mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak tersebut.
5. Kontrak konstruksi diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 dan Peraturan No 30 Tahun 2000.
TES FORMATIF
1. Pada tahun berapa hokum perdata mulai berlaku di Indonesia?
a) 1945
b) 1950
c) 1955
d) 1965
2. Berapa jumlah buku yang terdapat dalam Hukum Perdata?
a) 2 buku
b) 3 buku
c) 4 buku
d) 5 buku
3. Perjanjian dinyatakan syah jika memenuhi syarat-syarat berikut. Mana yang bukan merupakan syarat syahnya suatu perjanjian?
a) Kesepakatan para pihak
b) Kecakapan untuk membuat perikatan
c) Menyangkut hal tertentu
d) tidak ada kausal yang halal
4. Apabila debitur melakukan wanprestasi maka sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada debitur?
a) Membayar kerugian yang diderita debitur
b) Pembatalan perjanjian
c) Penangguhan resiko
d) Penangguhan pembayaran
5. Alasan apa yang dapat diajukan oleh seorang debitur yang dituduh wanprestasi untuk membela dirinya?
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach)
b) Mengajukan alasan bahwa debitur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur tidak melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
d) Mengajukan permintaan penangguhan
UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan kunci jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 1.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.
KUNCI JAWABAN
Latihan Soal
1. Perjanjian dinyatakan sah, jika:
- Kesepakatan para pihak
- Kecakapan untuk membuat perikatan
- Menyangkut hal tertentu
- Adanya kausa yang halal
2. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
3. Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
4. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan dari kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
5. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Tes Formatif
1. A
2. C
3. D
4. B
5. A
MODUL 2
BENTUK-BENTUK KONTRAK
PENDAHULUAN
Kontrak konstruksi terdiri dari kontrak konstruksi yang berlaku di Indonesia dan Kontrak Internasional. Kontrak yang digunakan pada pelaksanaan proyek konstruksi yang pembiayaannya menggunakan sumber dana APBN/APBD diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sedangkan untuk proyek-proyek konstruksi yang menggunakan sumber dana dari Bank Dunia (World Bank), Asian Development Bank (ADB) harus menggunakan kontrak yang berlaku secara internasional (kontrak internasional).
Modul ini akan membahas mengenai Bentuk-Bentuk Kontrak yang terdiri dari:
1. Jenis-Jenis Kontrak di Indonesia yang meliputi bentuk imbalan, jangka waktu pelaksanaan dan jumlah penggunaan;
2. Isi Kontrak yang meliputi lingkup pekerjaan, persyaratan dan spesifikasi teknis, masa penyelesaian, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat, ketentuan cidera janji, pemutusan kontrak, keadaan memaksa, kewajiban para pihak, penyelesaian perselisihan, nilai dan harga kontrak, jaminan, perlindungan tenaga kerja, bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan serta keabsahan para pihak yang terlibat.
3. Kontrak Internasional yang meliputi AIA, FIDIC, JCT dan SIA
Pembahasannya akan dilakukan dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan bentuk-bentuk kontrak konstruksi termasuk kontrak yang berlaku secara internasional
KEGIATAN BELAJAR 2.1. JENIS-JENIS KONTRAK DI INDONESIA
Jenis-jenis kontrak pengadaan barang/jasa menurut Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 dibedakan atas:
2.1.1. Berdasarkan bentuk imbalan
1) Lump Sum; Kontrak Lump Sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa
2) Harga Satuan; Kontrak Harga Satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.
3) Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan; Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.
4) Terima jadi (Turn Key); Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
5) Persentase; Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultasi di bidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tersebut.
2.1.2. Berdasarkan jangka waktu pelaksanaan
Berdasarkan jangka waktu pelaksanaan konstruksi, kontrak dibagi menjadi:
a) Tahun tunggal; Kontrak tahun tunggal adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.
b) Tahun jamak; Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.
2.1.3. Berdasarkan Jumlah Penggunaan
Berdasarkan jumlah penggunaan barang/jasa, kontrak dikelompokkan menjadi:
a) Kontrak Pengadaan Tunggal, adalah kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.
b) Kontrak Pengadaan Bersama, adalah kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama.
KEGIATAN BELAJAR 2.2. ISI KONTRAK
Isi kontrak menurut Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Peraturan Presiden (Pepres) No 32 Tahun 2005, antara lain:
- Lingkup pekerjaan
- Persyaratan dan Spesifikasi Teknis
- Masa Penyelesaian/Penyerahan
- Hak dan Kewajiban Para Pihak yang terlibat
- Ketentuan Cidera Janji
- Pemutusan Kontrak secara Sepihak
- Keadaan Memaksa (Force Majeur)
- Kewajiban Para Pihak apabila terjadi Kegagalan dalam Pelaksanaan Pekerjaan
- Penyelesaian Perselisihan
- Nilai atau Harga Kontrak Pekerjaan serta Syarat-syarat Pembayaran
- Jaminan Teknis/Hasil Pekerjaan
- Perlindungan Tenaga Kerja
- Bentuk dan Tanggung Jawab Gangguan Lingkungan
- Keabsahan para pihak yang terlibat
KEGIATAN BELAJAR 2.3. KONTRAK INTERNASIONAL
Dalam lingkup Internasional dikenal beberapa bentuk Kontrak Konstruksi yang diterbitkan oleh beberapa negara atau asosiasi profesi, antara lain:
n AIA (American Institute of Architects)
n FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Counsels)
n JCT (Joint Contract Tribunals)
n SIA (Singapore Institute of Architects)
Di Indonesia, untuk proyek-proyek Pemerintah banyak didanai Bank-bank Internasional, seperti: Asian Development Bank (ADB), African Development Bank, European Bank for Reconstruction and Development, International Bank for Reconstruction and Development (The World Bank), dll.
Adapun bentuk kontrak yang sering digunakan di Indonesia adalah Standar/Sistem FIDIC dan JCT, terutama untuk
n proyek-proyek Pemerintah yang menggunakan dana pinjaman (loan) dari luar negeri;
n Kontrak-kontrak dengan pihak swasta asing yang beroperasi di Indonesia . Standar/Sistem AIA, kebanyakan digunakan oleh
n perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia (kontrak-kontrak pertambangan).
2.3.1. Standar Kontrak Amerika Serikat (AIA)
American Institute of Architects (AIA) adalah sebuah institusi profesi di Amerika Serikat yang menerbitkan dokumen kontrak/syarat-syarat kontrak konstruksi yang biasa dikenal dengan istilah “AIA Standard” dan dipergunakan secara luas di Amerika Serikat. Sebagaimana lazimnya Syarat-Syarat Kontrak (Conditions of Contract), penerbitannya selalu diperbaiki. Demikian pula dengan syarat-syarat kontrak dari AmerikaSerikat yang terakhir diketahui adalah edisi/penerbitan tahun 1987 yang dikenal dengan nama “AIA-General Conditions,1987 ed.”
General Conditions of Contract for Construction, yang diterbitkan oleh “The American Institute of Architects (=AIA)”, terdiri dari 14 Pasal (Artikel) dan 71 ayat. Pasal-pasal yang terdapat dalam General Conditions of Contract for Construction memuat ketentuan mengenai:
o General Provisions,
Membahas tentang:
- definisi-definisi dasar mengenai dokumen kontrak, kontrak, pekerjaan, proyek, dan sebagainya;
- penandatanganan kontrak, kontrak harus ditandantangani oleh owner dan kontraktor;
- kepemilikan dari dokumen-dokumen kontrak. Kontraktor, sub-kontraktor dan supplier dapat memiliki salinan dokumen kontrak;
o Owner
Membahas tentang hak-hak dan kewajiban owner secara umum, antara lain:
- Owner harus menyediakan informasi tentang proyek.
- Owner harus membayar biaya konstruksi.
- Owner mempunyai hak untuk menghentikan pekerjaan.
Berlaku jika kontraktor gagal memperbaiki kesalahan dalam pekerjaannya.
- Owner mempunyai hak untuk mengambil alih pekerjaan.
Berlaku jika kontraktor tidak menanggapi 7 hari setelah surat teguran kedua dikeluarkan.
o Kontraktor
Membahas mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kontraktor setelah dokumen kontrak ditandatangani, seperti:
- Kontraktor harus menunjuk seorang pengawas.
- Kontraktor harus membayar upah, bahan, peralatan dan fasilitas yang digunakan.
- Kontraktor memberikan jaminan atas pekerjaannya.
- Kontraktor harus membayar semua pajak, perizinan dan upah.
- Kontraktor menunjuk seorang superintendent.
- Jadwal pelaksanaan konstruksi harus selalu diperbarui
- Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pelaksanaan harus selalu diteliti kembali dan disahkan oleh arsitek.
- Kontraktor harus menyediakan akses masuk ke tempat kerja, memelihara lingkungan, menjaga hak paten dari dokumen milik arsitek.
- Indemnification
o Administrasi Kontrak
- Membahas mengenai tugas dan wewenang arsitek, yaitu antara lain menjadi wakil dari owner selama konstruksi berlangsung, sampai final payment dilakukan atau sampai batas waktu tertentu atas persetujuan owner.
- Dalam pasal ini, dijelaskan pula mengenai tata cara penyelesaian suatu tuntutan/perselisihan, yaitu suatu tuntutan terlebih dahulu diajukan kepada arsitek untuk ditindaklanjuti yang kemudian akan dilanjutkan melalui tahap arbitrasi.
o Subkontraktor
- Menjelaskan bahwa Kontraktor tidak diizinkan untuk melakukan hubungan kontrak dengan pihak-pihak yang tidak disepakati oleh owner dan arsitek. Kontraktor tidak boleh mengganti subkontraktor yang telah terpilih meskipun owner dan arsitek melakukan perubahan pekerjaan.
- Kontraktor dapat menunjuk subkontraktor untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu dan bertanggungjawab terhadap Kontraktor. Setiap ketentuan dalam subkontrak harus memelihara dan melindungi hak-hak owner dan arsitek serta menghormati subkontraktor dalam melaksanakan pekerjaannya.
o Konstruksi oleh Owner atau oleh Subkontraktor
- Owner mempunyai hak untuk melakukan pekerjaan konstruksi dengan sumber daya sendiri, dan membuat kontrak terpisah dalam proyek konstruksi.
- Kontraktor dapat mengajukan klaim keterlambatan atau biaya tambahan yang dikeluarkan oleh kontraktor akibat hal-hal yang dilakukan owner.
- Kontraktor utama harus memberikan owner dan subkontraktor kesempatan yang masuk akal untuk memperkenalkan dan menyimpan material. Biaya yang disebabkan oleh keterlambatan atau aktivitas yang tidak sesuai dipertanggungjawabkan oleh masing-masing pihak yang bertanggung jawab.
- Jika perselisihan timbul di antara kontraktor utama, subkontraktor, dan owner sesuai dengan kewajibannya dibawah kontrak untuk mempertahankan kinerjanya/premises. Owner mempunyai hak untuk membersihkan area sekitarnya bebas dari material bangunan dan sampah
o Perubahan dalam Lingkup Pekerjaan
- Perubahan dalam pekerjaan bisa dilakukan setelah kontrak dilaksanakan, subyek mempunyai batasan-batasan yang dinyatakan dalam dokumen kontrak. Perintah perubahan harus berdasarkan kesepakatan dari owner, Kontraktor utama, dan Arsitek. Perintah perubahan atau perubahan harga satuan harus disesuaikan dengan adil.
- Perintah perubahan disiapkan dalam suatu alat/bukti tertulis oleh arsitek dan ditandatangani oleh owner dan arsitek. Perubahan berupa lingkup pekerjaan, jumlah kontrak dan durasi kontrak.
- Owner dapat melakukan perubahan konstruksi secara langsung, tanpa menghiraukan kontrak. Penjumlahan kontrak dan durasi kontrak akan dilakukan penyesuaian sesuai dengan kesepakatan.
- Arsitek mempunyai kekuasan untuk memerintahkan perubahan kecil dalam lingkup pekerjaan tanpa melibatkan penyesuaian dalam jumlah kontrak atau perpanjangan durasi kontrak. Setiap perubahan harus ada pernyataan tertulis dan harus mengikat kepada owner dan kontraktor.
o Waktu
- Durasi Kontrak merupakan jangka waktu, termasuk penyesuaian yang diizinkan, disetujui dalam dokumen kontrak. Jangka yang digunakan dalam Dokumen Kontrak harus berarti hitungan hari kalender kecuali dalam hal lain dijelaskan dengan spesifik.
- Batas waktu yang dinyatakan dalam dokumen kontrak adalah inti dari kontrak. Durasi kontrak merupakan waktu yang realistis untuk melakukan pekerjaan.
- Jika kontraktor utama mengalami keterlambatan dalam setiap waktu dari perkembangan pekerjaannya akibat dari tindakan owner dan Arsitek, atau dari Subkontraktor yang dipekerjakan oleh owner, atau akibat dari perintah perubahan dalam lingkup pekerjaan, atau perselisihan tenaga kerja, kebakaran, penundaan pengiriman yang biasanya tidak terjadi, adanya korban yang tidak dapat dihindari atau sebab lain yang disebabkan diluar kontrol dari Kontraktor, maka durasi Kontrak harus diperpanjang oleh Perintah Perubahan untuk jangka waktu yang realistis yang mungkin ditentukan oleh Arsitek.
o Pembayaran dan Penyelesaian
Pembayaran total biaya yang harus diberikan oleh owner kepada kontraktor sesuai dokumen kontrak diatur dalam Contract Sum.
Prosedur Pembayaran Menurut AIA :
Schedule of Values
|
Surat Permintaan Pembayaran
|
Sertifikat Pembayaran
|
Ya
|
Perbaiki atau Selesaikan
|
Tidak
|
Pembayaran
|
Gambar 2.1. Prosedur Pembayaran
o Perlindungan Terhadap Pekerja dan Properti
- Kontraktor harus bertanggung jawab atas pelaksanaan, pemeliharaan, dan mengawasi seluruh kegiatan dan keselamatan yang berhubungan dengan pelaksanaan kontrak
- Kontraktor harus dapat mengambil tindakan pencegahan dan menyediakan perlindungan untuk mencegah kerusakan, kecelakaan, atau kerugian.
- Dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan pekerja dan properti, kontraktor dapat melaksanakan kebijaksanaannya untuk mencegah terjadinya kerusakan, kecelakaan, atau kerugian
o Asuransi dan Jaminan
- Kontraktor harus memberikan jaminan atas pekerjaan yang dilakukannya dan atas tuntutan yang muncul akibat resiko pekerjaan. Jaminan yang dibutuhkan harus secara tertulis dan tidak melampaui tanggung jawab berdasarkan Dokumen Kontrak.
- Owner harus bertanggung jawab dalam pengadaan asuransi untuk perlindungannya sendiri. Kontraktor tidak bertanggung jawab atas asuransi pilihan owner, kecuali dibutuhkan dalam Kontrak.
- Segala properti dan material yang digunakan dalam proses konstruksi harus diasuransikan agar dapat mencegah keterlambatan pekerjaan akibat kerusakan properti.
- Owner memiliki hak untuk memerintahkan Kontraktor untuk melengkapi jaminan yang meliputi jaminan pelaksanaan dan pembayaran sebagai penetapan dalam kebutuhan lelang.
o Pekerjaan Pembongkaran dan Perbaikan
- Apabila Kontraktor tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan perjanjian maka harus dilakukan pembongkaran terhadap pekerjaan tadi tanpa adanya perubahan Masa Kontrak dengan diawasi oleh Arsitek. Biaya yang dikeluarkan selama pekerjaan pembongkaran akan dibebankan kepada pihak yang menyebabkan keterlambatan.
- Untuk memperbaiki pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian Kontraktor harus mendapat peringatan tertulis dari owner. Apabila Kontraktor gagal dalam memperbaiki pekerjaannya maka owner berhak memindahkan material dan meyimpannya, dimana biaya pemindahan dan penyimpanan menjadi tanggung jawab Kontraktor.
- Apabila owner ternyata menerima pekerjaan yang tidak sesuai Kontrak atas pertimbangannya sendiri maka owner melakukan tindakan pemindahan dan perbaikan, dalam hal ini Jumlah Kontrak akan dikurangi secara tepat dan seimbang.
o Persyaratan Tambahan
Persyaratan Tambahan ini berisi tentang Hukum yang Berkuasa, Penggantian, dan Penentuan, Peringatan Tertulis, Hak dan Perbaikan, Pengujian dan Pemeriksaan, Bunga, Permulaan dari Batasan Waktu yang Menurut Hukum
o Pemutusan atau Penundaan Kontrak
- Kontraktor utama dapat menghentikan kontrak jika pekerjaan diberhentikan selama 30 hari berturut-turut tanpa ada tindakan atau kesalahan dari Kontraktor atau Subkontraktor. Kontraktor dapat meminta 7 hari tambahan waktu dalam pemberitahuan tertulis kepada Owner dan Arsitek, penghentian Kontrak dan meminta pembayaran penggantian untuk pekerjaan yang telah dikerjakan dan untuk kehilangan material, peralatan, perlengkapan, dan peralatan konstruksi dan permesinan, termasuk biaya tidak langsung.
- Owner dapat menghentikan Kontrak apabila Kontraktor :
· Terus menerus atau berulang-ulang menolak atau gagal dalam memenuhi kemampuan pekerja yang memadai atau material yang memadai.
· Gagal melakukan pembayaran kepada Subkontraktor untuk materil atau pekerja menurut kesepakatan diantara Kontraktor dan Subkontraktor.
· Terus menerus tidak menghiraukan hukum, perintah atau peraturan, regulasi atau perintah dari oleh otoritas publik mempunyai kekuatan.
· Dilain hal bersalah atau pelanggaran untuk hal yang utama dari ketentuan dari Dokumen Kontrak.
- Owner dapat, tanpa sebab, memerintahkan Kontraktor dalam bentuk tertulis untuk menghentikan, menunda atau melakukan interupsi terhadap pekerjaan secara keseluruhan atau beberapa bagian dalam jangka waktu yang boleh ditentukan oleh Owner.
Disamping AIA, di Amerika Serikat terdapat institusi/asosiasi profesi lain yang menerbitkan cara-cara pelelangan dan dokumen kontrak seperti The National Society of Professional Engineers (NSPE), Association General Contractors of America (AGC) dan lain-lain.
2.3.2. Standar/Sistem Kontrak FIDIC
FIDIC adalah singkatan dari Federation Internationale Des Ingenieurs Counsels atau dalam bahasa Inggris disebut International Federation of Consultant Engineers atau bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah Federasi Internasional Konsultan Teknik. FIDIC didirikan pada tahun 1913 oleh 3 (tiga) asosiasi nasional dari Konsultan Teknik independen di Eropa. Tujuan pembentukan dari federasi ini adalah untuk memajukan secara umum kepentingan-kepentingan profesional dari anggota asosiasi dan menyebarkan informasi atau kepentingannya kepada anggota-anggota dari kumpulan asosiasi nasional. Sekarang jumlah keanggotaan FIDIC sudah tersebar di lebih dari 60 (enam puluh) negara di seluruh dunia, mewakili konsultan-konsultan teknik didunia.
FIDIC mengatur seminar-seminar, konferensi-konferensi dan pertemuanpertemuan lain untuk memelihara kepatutan dan standar profesional yang tinggi, tukar menukar pandangan dan informasi, diskusi masalah-masalah kepentingan bersama diantara anggota asosiasi dan perwakilan-perwakilan dari institusi keuangan internasional dan mengembangkan profesi teknik di negara-negara berkembang.
Publikasi FIDIC termasuk laporan-laporan dari pelbagai konferensi-konferensi dan seminar-seminar, informasi untuk para Konsultan Teknik, Pengguna Jasa Proyek dan agen-agen pengembangan internasional, bentuk-bentuk standar prakualifikasi, dokumen-dokumen kontrak dan perjanjian Klien/Konsultan, semuanya tersedia di Sekretariat FIDIC di Swiss.
Selain itu, perlu kiranya diketahui bahwa banyak asosiasi profesi di tanah air diantaranya Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) adalah anggota IFAWPCA (International Federation of Asia and West Pacific Contractor’s Association), sedangkan IFAWPCA adalah anggota FIDIC. Jadi seharusnya kita di Indonesia cukup mengenal FIDIC dan sepantasnya menggunakan standar FIDIC dalam membuat kontrak sebagai acuan/rujukan. Tetapi kenyataannya penggunaan sistim FIDIC di Indonesia masih sangat terbatas pada kontrak proyek-proyek yang menggunakan dana pinjaman luar negeri atau kontrak-kontrak dengan swasta asing.
FIDIC telah menyusun 3 (tiga) versi Standar/Sistem Kontrak yang masing-masing mengatur Syarat-syarat Umum Kontrak dan Syarat-syarat Khusus Kontrak.
n FIDIC-Edisi ke-4 1987
Ditujukan untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi Teknik Sipil (Works of Civil Engineering Construction).
n FIDIC-Edisi ke-1 1995
Ditujukan untuk pekerjaan Rancang Bangun (Design Build and Turn Key).
n FIDIC-Edisi Mei 2005 Multilateral Development Bank (MDB) Harmonised Edition
Ditujukan untuk pekerjaan Bangunan dan Pekerjaan Perencanaan yang didesain oleh Pengguna Jasa (Building And Engineering Works Designed by The Employer).
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak/perjanjian menurut FIDIC 2005 dan Perundang-undangan Indonesia yang dikutip dari Soekirno, 2005 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Pihak-pihak yang terlibat menurut FIDIC 2005 dan Perundang-undangan Indonesia
Condition of Contract For Works Of Civil Engineering Construction terdiri dari General Condition With Form Of Tender And Agreement dan Condition Of Particular Application With Guidelines For Preparation Of Part II Clauses.
FIDIC telah diterbitkan dalam 3 edisi yaitu sebagai berikut:
n Edisi pertama keluar pada tahun 1957
n Edisi kedua terbit pada taun 1969 dengan perbedaaan dibandingkan dengan edisi pertama adalah pada bagian 3 yaitu tentang Condition of Particular Application for Dredging and Reclamation Works
n Tahun 1983 komite eksekutif FIDIC memutuskan untuk memperbarui Red Book. Tugas ini dipercayakan kepada CECC (Civil Engineering Contract Committee). Publikasinya adalah Red Book edisi 1987.
n Edisi paling baru adalah tahun 1995
2.3.3. Standar/Sistem Kontrak JCT 1980
JCT adalah singkatan dari Joint Contract Tribunals, suatu institusi di Inggris yang menyusun standar kontrak konstruksi untuk Pemerintah setempat (Local Authority) dan Sektor Swasta (Private). Unsur-unsur pokok JCT terdiri dari badan-badan sebagai berikut Royal Institutions of British Architect (RIBA), National Federation of Building Trades Employers (NFBTE), Royal Institution of Chartered Surveyor (RICS), Association of Country Councils (ACC), Associations of Metropolitan Authority (AMA), Associations of District Councils (ADC), Committee of Associations of Specialist Engineering Contractor (ASEC), Greater London Council (GLC), Federation of Associations of Specialist and Subcontractors, Association of Consulting Engineers (FASSACE), Scotish Building Contract Committee (SBCC).
Selengkapnya berjudul : STANDARD FORM OF BUILDING CONTRACT, 1980 Edition PRIVATE WITH QUANTITIES. JCT – Joint Contracts Tribunal form of Building Contract yang terdiri dari :
n ARTICLES OF AGREEMENT
n CONDITIONS : PART 1 : GENERAL
n CONDITIONS : PART 2 : NOMINATED SUBCONTRACTORS AND NOMINATED SUPPLIERS
n CONDITIONS : PART 3 : FLUCTUTIONS
n APPENDIX.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa standar JCT dibuat oleh beberapa institusi di Inggris dan tidak melibatkan institusi lain seperti keanggotaan FIDIC dan dibuat khusus untuk kontrak-kontrak bangunan (Building Contract). Standar JCT dipakai oleh Inggris sendiri dan kebanyakan negara Persemakmuran (Commonwealth) seperti Malaysia, Singapura. Di Indonesia standar JCT dipakai untuk proyek-proyek swasta dimana yang menjadi konsultan perencana/pengawas adalah perusahaan Inggris atau yang berafiliasi dengan Inggris.
Standar JCT 1980 menyebut Perjanjian/Kontrak dengan istilah Article of Agreement and Conditions of Building Contract. Berbeda dengan standar FIDIC 1987, yang hanya menyebut Agreement. Hampir sama dengan FIDIC, perjanjian menurut standar JCT hanya berisi 5 butir/pasal yaitu :
a. keharusan Penyedia Jasa untuk melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan apa yang disebut dengan Contract Bills (Rincian Biaya) dan Contract Drawings (Gambar-gambar Kontrak).
b. Pengguna Jasa (Employer) harus membayar Penyedia Jasa berdasarkan Nilai Kontrak (Contract Sum) pada waktu dan dengan cara-cara sesuai tercantum dalam syarat-syarat kontrak (Conditions of Contract).
c. memuat penjelasan mengenai Wakil Pengguna Jasa yang ditunjuk (Architect/Engineer).
d. memuat penjelasan mengenai Konsultan Volume/Biaya (Quantity Surveyor) yang ditunjuk.
e. memuat penjelasan tentang penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase.
2.3.4. Standar/Sistem Kontrak SIA
Institusi para Arsitek Singapura yang bernama Singapore Institute of Architects (SIA) menyusun standar/sistim kontrak yang di kenal dengan nama “SIA 80 CONTRACT”. Standar ini selengkapnya bernama ARTICLES AND CONDITIONS OF BUILDING CONTRACT yang terdiri dari dokumen-dokumen berikut :
a) Perjanjian/Kontrak yang di sebut ARTICLE OF CONTRACT
b) Syarat-Syarat Kontrak yang di sebut CONDITIONS OF CONTRACT
c) Lampiran (APPENDIX)
d) Tambahan yang di sebut ADDENDUM ON AMENDMENTS TO SIA CONTRACT.
Pertama-tama yang perlu di ketahui bahwa standar kontrak ini di tujukan atau di peruntukkan bagi kontrak konstruksi Bangunan Gedung (Building Contract).
LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksudkan dengan Kontrak Lump Sum?
2. Apa yang dimaksudkan dengan Kontrak Unit Price?
3. Sebutkan perbedaan utama dari kontrak Lump Sum dan Unit Price!
4. Sebutkan Isi Dokumen Kontrak, kontrak yang berlaku di Indonesia maupun Internasional?
5. Apa yang dimaksudkan dengan Liquidity Damages for Delay?
RANGKUMAN
1. Kontrak-kontrak yang berlaku di khusus di Indonesia yaitu Lump Sum, Unit Price (Harga Satuan), Gabungan Lump Sum dan Unit Price, Turn Key, Persentase, Tahun tunggal , Tahun Jamak, Cost Plus Fixed Fee, Cost Plus Sliding Fee.
2. Kontrak-kontrak yang berlaku di Indonesia dan Internasional adalah AIA, FIDIC, JTC dan SIA.
3. Semua standar/sistim kontrak tersebut mempunyai bentuk (format) yang kurang lebih sebagai berikut:
a) Perjanjian/Kontrak/Agreement/Article of Agreement/Article of Contract.
b) Syarat-syarat Kontrak (Conditions of Contract): Umum (General) dan Khusus (Particular/Special)
c) Lampiran-Lampiran (Appendixes)
d) Spesifikasi Teknis (Technical Specification)
e) Gambar-gambar Kontrak (Contract Drawings)
4. Tujuan penggunaan masing-masing Kontrak Internasional adalah sebagai:
a) Standar Kontrak Agreement/AIA ditujukan untuk Kontrak Pekerjaan Sipil
b) Standar Kontrak FIDIC 1987 ditujukan untuk Kontrak Pekerjaan Konstruksi Teknik Sipil dan Standar Kontrak FIDIC 1995 ditujukan untuk Kontrak Pekerjaan Rancang Bangun dan Turn Key
TES FORMATIF
1. Kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dengan waktu tertentu, jumlah harga pasti dan tetap, disebut dengan kontrak
a. Kontrak Gabungan
b. Kontrak Lump Sum
c. Kontrak Harga Satuan
d. Kontrak Terima Jadi
2. Berikut ini mana yang tidak termasuk dalam isi kontrak?
a. Lingkup pekerjaan
b. Persyaratan dan Spesifikasi Teknis
c. Masa Penyelesaian/Penyerahan
d. Rencana Anggaran Biaya
3. Yang termasuk dalam kontrak Internasional?
a. AIA
b. ADB
c. JIBIC
d. World Bank
4. FIDIC?
a) Federation Internationale des Ingenieurs Contractors
b) Federation Internationale des Ingenieurs Contractor
c) Federation Internationale des Ingenieurs Counsels
d) Federation Internationale des Ingenieurs Consultant
5. FIDIC tahun 1995 diguna untuk pekerjaan?
a) Kontrak Pekerjaan Sipil
b) Kontrak Pekerjaan Konstruksi Teknik Sipil
c) Kontrak Pekerjaan Design Build & Turn Key
d) Kontrak Pekerjaan Bangunan.
UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 2.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 2, terutama bagian yang belum anda kuasai.
KUNCI JAWABAN
Latihan Soal
1. Kontrak dengan biaya tetap, volume pekerjaan dapat berubah
2. Kontrak dengan biaya satuan pekerjaan tetap, biaya total dapat berubah sesuai dengan volume yang dikerjakan.
3. Jumlah harga kecuali ada perintah perubahan, Volume pekerjaan tidak boleh diukur ulang, Nilai kontrak berubah bila ada perintah perubahan, Resiko salah hitung volume ada pada Penyedia Jasa sedangkan Kontrak Unit Price, Tidak ada resiko kelebihan membayar (Pengguna Jasa), Tidak ada keuntungan mendadak (Penyedia Jasa), Banyak pekerjaan pengukuran ulang sehingga bisa terjadi kolusi
4. Standar/sistim isi dokumen kontrak mempunyai bentuk (format) yaitu:
a) Perjanjian/Kontrak/Agreement/Article of Agreement/Article of Contract.
b) Syarat-syarat Kontrak (Conditions of Contract), Umum (General) dan Khusus (Particulair/Special)
c) Lampiran-Lampiran (Appendixes)
d) Spesifikasi Teknis (Technical Specification)
e) Gambar-gambar Kontrak (Contract Drawings)
5. Ganti rugi atas keterlambatan penyerahan produk.
Tes Formatif
1. B
2. D
3. A
4. C
5. C
MODUL 3
UUJK DAN DOKUMEN KONTRAK
PENDAHULUAN
Azas kontrak adalah kesetaraan antara pemberi tugas/pengguna jasa dengan penyedia jasa, yang berarti bahwa kedua pihak yang melakukan perjanjian kerjasama memiliki hak dan kewajiban masing-masing, sehingga bila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik dapat dikenakan sanksi.
Kehadiran Undang-undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) menuntun pelaku jasa konstruksi mengembangkan jasa konstruksi pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, keterbukaan dan profesionalisme dengan antara lain melakukan restrukturisasi usaha berdasarkan kompetensi dan kemampuan usaha dari pengalaman faktual perusahaan melalui penguasaan manajemen atas sumber daya yang dimilikinya, terutama sumber daya manusia dan keuangan.
Modul 3 ini akan membahas mengenai Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK) dan Dokumen Kontrak yang terdiri dari:
1. Undang-Undang Jasa Konstruksi yang meliputi Pembentukan Kontrak, Pemutusan Kontrak, Kerugian akibat Pelanggaran Kontrak;
2. Dokumen Kontrak yang meliputi Dokumen Persetujuan, Gambar Rencana, Persyaratan Umum, Persyaratan Khusus, Spesifikasi, Organisasi Spesifikasi Teknis, Permasalahan berkaitan dengan Spesifikasi dan Kontrak;
3. Kewajiban dalam Kegiatan Konstruksi meliputi Penyampaian Laporan-Laporan, Pedoman Pengoperasian dan Pemeliharaan, Gambar Hasil Pelaksanaan.
Pembahasannya akan dilakukan dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu membuat Dokumen Kontrak Konstruksi
KEGIATAN BELAJAR 3.1. UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI
Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) memungkinkan adanya kontrak jasa konstruksi secara turnkey, dan dalam implementasinya jenis kontrak tersebut cenderung pada pekerjaan besar dan kompleks seperti pekerjaan yang terintegrasi (Engineering, Procurement. Construction/EPC). Sekalipun penyedia jasa dalam kontrak tersebut sudah memiliki bargaining power yang kuat, namun aspek kesetaraan belumlah ideal, terutama jika dilihat dari sisi penyedia jasa.
Hal ini haruslah menjadi perhatian para profesional yang bergerak dalam bidang konstruksi. Hubungan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian belum adil, belum seimbang dan belum setara kedudukannya, dimana lebih memberatkan pihak penyedia jasa. Apalagi penerapan UUJK dan standar kontrak FIDIC belum begitu memasyarakat di Indonesia.
1.1.1. Pembentukan Kontrak (Contract Formation)
Kontrak hanya dapat terbentuk jika ada dua pihak atau lebih telah sepakat untuk mengadakan suatu transaksi. Transaksi tersebut umumnya berupa kesanggupan oleh satu pihak untuk melakukan sesuatu bagi pihak lainnya dengan sejumlah imbalan yang telah disepakati. Tidak semua kesepakatan dan transaksi akan dijabarkan dalam bentuk kontrak. Kesepakatan hanya dapat dilanjutkan dalam bentuk perjanjian/kontrak bila memenuhi dua aspek utama, yaitu saling menyetujui (mutual contract) dan ada penawaran dan peneriman (offer and acceptance)
· Saling menyetujui (mutual consent)
Suatu transaksi harus disetujui oleh kedua pihak, dan persetujuan brsama ini harus mengikat dan berlaku terhadap semua aspek prinsipil yang menyangkut persetujuan tersebut. Aspek-aspek prinsipil yang harus dipenuhi dalam suatu persetujuan menyangkut kelengkapan aspek-aspek subjektif dan objektif dari persetujuan.
Secara umum, suatu perjanjian yang disepakati bersama harus bebas dari suatu terminologi yang dapat mempunyai arti sama atau ganda. Terminologi atau kata-kata yang bermakna sama/ganda dapat menimbulkan keragu-raguan dalam mengartikan dan menafsirkannya. Akibatnya masing-masing pihak akan berusaha untuk memberikan penafsiran tersendiri yang tentunya dengan maksud untuk tidak merugikan diri sendiri, sehingga kerap menjadi bibit timbulnya suatu perselesihan (dispute). Oleh karena itu sangat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengerti dan memahami apa yang diharapkan dan apa yang akan diberikan oleh masing-masing pihak.
Prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam upaya untuk memahami dan menginterpertasikan suatu terminology yang meragukan adalah bahwa kesempatan penafsiran lebih diutamakan bagi pihak yang tidak atau bukan menulis rancangan kontrak.
· Offer and Acceptance
Suatu kesepakatan harus dilandasi pada asas keadilan. Suatu transaksi terbentuk secara adil, maka kedua pihak yang akan mengadakan transaksi harus bebas dan diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan penawaran dan penerimaan. Transaksi terjadi bila satu pihak melakukan penawaran kepada pihak lain untuk mengadakan sesuatu hal dan pihak lain akan memberikan tanggapan atas penawaran tersebut. Jawaban atas penawaran tersebut dapat berupa penerimaan, penolakan atau penerimaann bersyarat melalui suatu proses negosiasi.
1.1.2. Pemutusan Kontrak (Contract Termination)
Suatu upaya untuk menegakkan isi dan tujuan dari suatu persetujuan, maka pada kontrak-kontrak sering dilengkapi dengan klausula-klausula mengenai pemutusan kontrak (contract termination). Pemutusan kontrak dapat terjadi dengan sendirinya (by default) atau karena pertimbangan lain. Selesainya suatu pekerjaan dengan semua pemenuhan persyaratannya secara otomatis mengakibatkan kontrak selesai (terminated). Demikian pula, jika terjadi kegagalan yang bersifat material yang dilakukan oleh kontraktor, yang oleh pemilik dapat dinilai membahayakan kelangsungan dan penyelesaian pekerjaan, maka kontrak tersebut dapat diputuskan melalui pemberitahuan singkat atau bahkan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada kontraktor. Untuk pelanggaran-pelanggaran yang bersifat immaterial, dengan berbagai pertimbangan pemilik dapat memilih untuk menghentikan/memutuskan kontrak. Hal tersebut tentunya harus disertai dengan ganti rugi yang memadai bagi pihak kontraktor.
Terhadap suatu pelanggaran kontrak, secara umum pihak yang tidak melanggar kontrak yang mempunyai tiga pilihan, yaitu:
- Membebaskan atau mengabaikan pelanggaran yang terjadi dan tidak menuntut ganti rugi kepada pihak yang melanggar.
- Memilih untuk memutuskan kontrak dengan sendirinya.
- Mengajukan tuntutan gantu rugi.
1.1.3. Kerugian akibat Pelanggaran Kontrak
Kerugain yang ditimbulkan oleh karena pelanggaran kontrak, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak memperoleh penggantian kerugian (compensation). Kerugian yang dialami akibat satu pihak yang melakukan pelanggaran kontrak, maka pihak lainnya berhak mengajukan penggantian kerugian, yang perhitungannya dapat dilakukan dengan berbagai metode perhitungan penggantian dasar, yaitu:
- Biaya Penyelesaian
- Selisih Nilai
- Liquidated Damages
· Biaya Penyelesaian; Jika kontraktor diberhentikan karena gagal menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan, maka pemilik terpaksa menunjuk kontraktor lain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dan semua biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian tersebut diambil dari sisa pembayaran terhadap kontraktor pertama. Jika biaya yang dikeluarkan lebih besar, maka kontraktor yang melanggar kotrak berkewajiban membayar perbedaannya
· Selisih Nilai; Untuk beberapa keadaan yang lebih kompleks, perhitungan dengan metode biaya penggantian di atas kadang kala tidak dapat dilakukan. Keadaan tersebut, misalnya pelanggaran kontrak yang disebabkan oleh pekerjaan yang salah atau gagal (defective work) dan bukan karena pekerjaan tersebut tidak selesai. Untuk kondisi tersebut, biaya penggantian penyelesaian saja tidak cukup tepat karena akan menimbulkan biaya-biaya pembongkaran dan penggantian, selain biaya pemasangan kembali. Contoh, upaya untuk memperbaiki pekerjaan pembetonan struktur lantai yang tidak mencapai kekuatan tertentu, maka biaya penggantiannya dihitung dengan cara mengurang nilai pekerjaan cor pengganti dngan nilai pekerjaan beton yang diganti, ditambah biaya pembongkaran beton lama, penyetelan/penggantian tulangan. Biaya penggantian sama dengan biaya penggantian dikurangi biaya pekerjaan awal ditambah biaya pembongkaran.
· Liquidated Damages/LD; salah satu bentuk penggantian kerugian yang banyak digunakan dalam kontrak konstruksi adalah liquidated damages (kerugian terhapus). Berbeda bentuk penggantian yang dasar penentuannya adalah aspek-aspek yang terkandung dalam kontrak (pekerja, material, alat, metode dan hasil kerja), maka perhitungannya didasarkan pada kerugian yang diperkirakan akan dialami karena kegagalan penyelesaian persetujuan. Liquidated Damages tidak hanya suatu denda keterlambatan yang besarnya dapat ditentukan secara arbitrasi, konsep LD lebih didasarkan pada kompensasi terhadap hilangnya kesempatan untuk beroleh keuntungan akibat tidak dapat digunakannya fasilitas pada waktunya. Sebaliknya jika proyek akan mengenakan mekanisme denda untuk setiap keterlambatan maka untuk adilnya harus pula diberlakukan sistem bonus bagi penyelesaian yang lebih awal.
KEGIATAN BELAJAR 3.2. DOKUMEN KONTRAK
Dokumen kontrak memegang peran yang sangat penting bagi pengembangan proyek konstruksi. Dokumen ini merupakan jembatan penghubung antara citra konsepsual pemberi tugas (owner) dengan kegiatan konstruksi fisik dari satu fasilitas/bangunan seperti yang diharapkan oleh pemberi tugas. Pada setiap proyek (konstruksi) jembatan penghubung yang vital ini diselenggarakan oleh pihak-pihak pemberi tugas perancang/perencana, kontraktor, dan berbagai pihak lainnya yang hampir dapat dipastikan belum pernah bekerja sama sebelumnya. Satu-satunya media yang memungkinkan mengakomodasi semua kepentingan mereka adalah dokumen kontrak. Dokumen kontrak pada dasarnya terdiri dari:
- Lembar Perjanjian
· Gambar-gambar rencana
· Syarat-syarat umum
· Syarat-syarat khusus
· Spesifikasi teknis dan
· Adendum
Dokumen ini disiapkan oleh konsultan perancang sebagai media komunikasi antara pemberi tugas dan kontraktor.
3.2.1. Dokumen Persetujuan
Dokumen persetujuan (the agreement) merupakan dokumen paling pendek dari seluruh dokumen kontrak, yang isinya merupakan hal-hal yang menentukan harga, pembayaran, dan waktu pelaksanaan pekerjaan.
a) Harga/Nilai Kontrak
Tergantung pada jenis perjanjian yang disepakati, harga suatu kontrak akan dinyatakan dalam dokumen persetujuan sebagai suatu jumlah yang tetap dengan menyebutkan nama dan lingkup singkat pekerjaannya, atau dapat pula sebagai suatu harga yang dikaitan dengan satuan jumlah pekerjaan tertentu (unit price). Cara lain adalah yang menyebutkan bahwa semua biaya (langsung atau tidak langsung) yang dikeluarkan oleh kontraktor akan memperoleh penggantian dan ditambah sejumlah harga yang telah disepakati (cost plus fee). Terhadap cara yang disebut terakhir ini, umumnya disebutkan pula nilai maksimum yang dapat dibayarkan.
b) Cara Pembayaran
Metoda atau cara pembayaran dinyatakan dalam dokumen perjanjian/persetujuan yang menunjukan tata cara pembayaran yang dikaitkan dengan prestasi kemajuan pekerjaan. Berkaitan dengan hal tersebut, kadang kala disertakan pula jadwal nilai
(schedule of value) dimana berbagai fase kegiatan atau bagian kegiatan diberi nilai untuk menilai kemajuan.
c) Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Hal penting ketiga yang harus ada dalam setiap kontrak adalah yang mengatur waktu pelaksanaan pekerjaan. Perjanjian menyatakan perioda waktu tertentu dimana kontraktor harus menyelesaikan pekerjaan. Perioda waktu ini harus dinyatakan dengan jelas, yang dapat dinyatakan dengan suatu jumlah hari kalender, atau hari kerja,.atau dapat pula berupa pernyataan suatu tanggal mulai dan tanggal selesainya pekerjaan.
d) Dokumen Lain Yang Terkait
Kontrak merupakan suatu dokumen yang tak lepas dari dokumen-dokumen lain yang terpisah dari dokumen kontrak. Dokumen lain yang dimaksud dapat berupa peraturan-peraturan pada aturan teknis pelaksanaan yang berlaku, seperti ACI, ASTM, SNI, dan lain sebagainya, yang mengikat untuk dikenakan pada proyek tersebut. Dokumen lain yang juga menjadi bagian dari kontrak adalah dokumen pelelangan yang berisikan Instruksi untuk penawar, Persyaratan umum, Persyaratan khusus, Formulir penawaran, Formulir jaminan penawaran, Formulir jaminan kontrak, Daftar pembayaran gaji pekerja dan Spesifikasi teknis.
e) Penandatanganan Kontrak
Elemen terakhir dan terpenting dari suatu kontrak adalah bagian tanda tangan, dimana dua pihak yang bersepakat membubuhi tanda tangan mereka di bawah kesepakatan yang tertulis pada dokumen persetujuan. Dengan ditandatanganinya dokumen ini, maka dokumen tersebut seraca sah mengikat kedua belah pihak untuk saling melaksanakan kewajiban dan menerima haknya masing-masing. Pada kontrak-kontrak di Indonesia, perjanjian ini ditandatangani di atas materai.
3.2.2. Gambar Rencana
Gambar rencana (plans, blueprint) merupakan komponen yang penting dari suatu dokumen kontrak konstruksi. Dokumen ini merupakan sumber informasi utama untuk mengetahui bentuk fisik, kuantitas dan gambaran visual dari suatu proyek. Melalui dokumen ini penaksiran kuantitas terhadap rencana suatu fasilitas (bangunan) dapat dilakukan, sehingga dapat direncanakan jumlah sumber daya dan metoda konstruksi yang akan dilaksanakan di lapangan.
Dalam suatu dokumen kontrak, gambar-gambar rencana disusun dalam suatu organisasi penyajian sehingga dapat dengan mudah diikuti, dipelajari dan sesuai dengan uruturutan pelaksanaan fisik di lapangan. Kelompok umum gambar-gambar rencana dari suatu proyek pembangunan gedung terdiri dari:
· Informasi umum, pekerjaan persiapan dan pekerjaan tanah
· Pekerjaan Struktural
· Pekerjaan Arsitektural
· Pekerjaan Mekanikal (plumbing, HVAC)
· Pekerjaan Elektrikal
Masing-masing kelompok gambar disajikan dengan kode gambar tersendiri dan diurutkan sesuai dengan rencana penggunaannya kemudian. Selain itu masing-masing kelompok gambar tersebut juga harus disajikan dalam berbagai bentuk penyajian yang berbeda, seperti gambar tampak, potongan dan detil dan dengan skala yang berbeda-beda pula, sehingga informasi mengenai gambar-gambar tersebut benar-benar dapat disampaikan dengan baik dan lengkap. Melalui bentuk penyajian tersebut maka identifikasi dan penentuan kebutuhan untuk berbagai kegiatan proyek dapat dengan mudah dan cepat diketahui. Untuk beberapa hal khusus perlu diperhatikan cara penggambaran dan penulisan notasi gambar. Hal ini dimaksudkan agar terhindar kesalahan identifikasi terhadap suatu gambar yang disajikan.
Gambar-gambar rencana umumnya disajikan dalam bentuk proyeksi orthografi yang dengan mudah dapat diskalakan untuk memperoleh informasi tambahan secara langsung. Skala juga banyak membantu pembaca gambar, khususnya estimator dan quantity surveyor, untuk menentukan besaran kuantitatif dari suatu elemen bangunan. Namun demikian perlu diperhatikan pengaruh penggunaan skala, terutama untuk gambar-gambar yang mengalami perbesaran atau perkecilan. Untuk gambar-gambar yang akan mengalami perubahan tersebut sebaiknya jangan menggunakan besaran skala numeris untuk menghitung atau menentukan kuantitas suatu elemen bangunan, kecuali bila menggunakan skala grafis.
Setiap halaman umumnya dilengkapi dengan informasi skala dan tanggal penggambaran dan tanda bahwa gambar disetujui. Bagian arsitektural terdiri dari gambar-gambar yang memperlihatkan komponen proyek pada tahap finishing. Notasi standar umummya digunakan untuk memperlihatkan detil-detil, bagian dinding dan rencana lantai. Gambar struktural memperlihatkan detil struktural. Semua kompunen struktur utama diperlihatkan berikut sambungan-sambungan utama. Gambar-gambar mekanikal memperlihatkan berbagai lokasi instalasi pipa, sedang gambar-gambar pada bagian elektrikal menyajikan informasi mengenai instalasi komponen elektrikal.
3.2.3. Persyaratan Umum
Di dalam persyaratan umum dinyatakan hak, wewenang dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak pelaksanaan proyek, yaitu pemilik proyek, wakil pemilik dan kontraktor. Berbagai standar persyaratan umum yang telah dibuat antara lain:
· Standar AIA (American Institute ofArchitects) - Amerika Serikat
· Standar yang dibuat oleh AGC (American General Contractor) dan ASCE
(American Society of Civil Engineers) - Amerika Serikat
· Standar EJCDC (Engineers Joint Contract Document Committee) – Amerika Serikat
· FIDIC (Federation International Des Ingenieurs-Conceils) - Perancis
· ICE (Institution for Civil Engineers) - Inggrs
· AV-41 (Algemene Voorwaarden voor de uitvoering bij aanneming van openbare werken) atau SU-41 (Syarat-syarat Umum untuk Pelaksanaan Bangunan Umum yang Dilelangkan)
Persyaratan umum terdiri dari bagian mengenai
· kondisi umum yang berisi definisi kontrak, lingkup pekerjaan, kepemilikan dokumen dan hal-hal umum lainnya
· Pemilik yang menjelaskan definisi pemilik; informasi dan pelayanan yang diminta; hak pemilik untuk memberhentikan atau melanjutkan pekerjaan
· Kontraktor yang menjelaskan hak, tanggung dan wewenangnya
· Administrasi kontrak yang berisi tanggung jawab arsitek pada fase konstruksi, hal-hal berkaitan dengan klaim dan perselisihan
· Hal-hal berkaitan dengan arbitrase
· Subkontraktor, definisi dan hubungannya dengan pemilik proyek
· Pelaksanaan pekerjaan oleh kontraktor atau beberapa kontraktor
· Perubahan dalam pekerjaan, terutama dalam pekerjaan tambah kurang
· Waktu; berkaitan dengan kemajuan dan penyelesaian pekerjaan serta keterlambatan yang mungkin terjadi
· Sistem pembayaran dan hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan, misalnya pengeluaran sertifikat progres fisik pekerjaan
· Perlindungan terhadap pekerja dan barang
· Asuransi dan jaminan
· Pekerjaan yang tidak termasuk dalam kontrak serta perbaikan pekerjaan
· Hal-hal berkaitan dengan tes dan inspeksi pekerjaan
· Hal-hal berkaitan dengan penundaan kontrak
3.2.4. Persyaratan Khusus
Bagian ini berisikan hal-hal khusus yang ada pada proyek yang akan dibangun, yang menunjukan kekhususan banguan tersebut dibandingkan bangunan lain yang sejenis. Bagian ini berfungsi memperkuat dan menambah persyaratan umum yang telah ada. Dalam bagian ini termasuk juga jumlah salinan dokumen kontrak yang hares diterima kontraktor, tipe informasi survei yang harus dilakukan pemilik proyek, material yang akan disediakan pemilik proyek, informasi spesifik mengenai penggantian materiali, perubahan dalam persyaratan asuransi, persyaratan mengenai fase-fase konstruksi, pengujian lokasi proyek, tanggal memulai pekerjaan, persyaratan-persyaratan mengenai keamanan proyek, persyaratan mengenai fasilitas-fasilitas sementara, prosedur khusus dalam penyerahan gambar hasil pelaksanaan, persyaratan mengenai pelaporan biaya, persyaratan mengenai jadwal pekerjaan, persyaratan khusus mengenai pekerjaan pembersihan, persyaratan pengaturan lalu lintas, penemuan barang-barang bersejarah.
3.2.5. Spesifikasi
Spesifikasi merupakan petunjuk dan peraturan yang berkaitan dengan tata cara penanganan pelaksanaan pekerjaan. Hal-hal yang termasuk dalam spesifikasi adalah undangan lelang, instruksi untuk penawaran, persyaratan umum, persyaratan khusus, formulir penawaran, formulir jaminan penawaran, formulir jaminan kontrak, daftar pembayaran gaji pekerja, spesifikasi teknis. Spesifikasi teknis adalah deskripsi tertulis mengenai aspek kualitas berbagai item dari proyek konstruksi, sedang aspek kuantitatif tercermin dari gambar-gambar rencana yang melengkapi spesifikasi teknis. Informasi yang perlu diketengahkan dalam spesifikasi teknis antara lain kualitas beton, kualitas agregat, kualitas cara kerja (pengadukan, penempatan, perawatan), kualitas material yang digunakan untuk test kelembaban, deskripsi material untuk pipa pembuangan, persiapan fondasi tanah, tipe alat berat dan persyaratan pemaatan
Spesifikasi digunakan untuk memodifikasi atau menjelaskan hal-hal yang diperlihatkan dalam gambar rencana. Dalam kontrak perlu dijelaskan personil yang akan bertanggung jawab jika terjadi perbedaan antara gambar rencana dan spesifikasi.
3.2.6. Organisasi Spesifikasi Teknis
Struktur spesifikasi teknis umumnya mcn ikuti tahap-tahap dalam prose's konstruksi. Dalam konstruksi gedung, spesifikasi teknis umumnya dibagi atas divisi-divisi. Divisidivisi ini memisahkan spesifikasi teknis berdasarkan yurisdiksi keahlian, dan dalam paket-paket sesuai pekerjaan yang disubkontrakkan. Satu model penyusunan spesifikasi yang umum dikenal di Amerika Serikat adalah model Master Format yang disusun oleh CSI (Construction Industri Institute), yang membagi pekerjaan menjadi 16 divisi. Agar spesifikasi sesuai dengan tujuannya, kriteria-kriteria dasar yang diperlukan
· Secara teknis, akurat dan memenuhi kualitas yang diinginkan
· Pemakaian kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti
· Syarat-syarat yang dikemukak an sesua dan adil
· Dibuat dalam format yang mudah dipakai selama penawaran dan konstruksi
· Mempunyai kekuatan hukum
3.2.7. Permasalahan Berkaitan Dengan Spesifikasi dan Kontrak
Beberapa hal dalam spesifikasi yang kerap membingungkan dan menimbulkan persoalan terhadap kontraktor adalah
· Spesifikasi mungkin mensyaratkan model yang sudah tidak diproduksi lagi.
· Kata-kata atau terminologi yang sulit untuk diinterpretasikan ataupun yang mempunyai makna ganda.
· Persyaratan kualitas yang tidak jelas dan bahkan dapat saling bertentangan antara satu klausa dengan klausa lainnya.
· Adanya pertentangan antara spesifikasi dengan gambar rencana.
Dilihat dari jenis perjanjian yang disepakati, kontrak jenis unit price mempunyai potensi untuk disalahgunakan, kecuali jenis pekerjaan telah ditetapkan dengan lengkap dan perkiraan jumlah volume pekerjaan dapat diketahui dengan cukup akurat.
KEGIATAN BELAJAR 3.3. KEWAJIBAN KONTRAKTOR DALAM KEGIATAN KONSTRUKSI
Setelah kontrak ditandatangani, kontraktor terikat pada berbagai kewajiban yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan kontrak.
3.3.1. Penyampaian Laporan-Laporan
Dalam spesifikasi dijelaskan standar kualitas yang diperlukan untuk proyek. Evaluasi kualitas pekerjaan adalah berdasarkan inspeksi ke lapangan yang menyeluruh. Informasi mengenai kualitas material, tes-tes yang dilakukan terhadap material dan peralatan perlu diberitahukan kepada pemilik. Informasi yang diberikan haruslah cukup rinci sehingga pemilik dapat membuat keputusan jika ada masalah sehubungan item tertentu. Laporan-laporan dapat terdiri dari gambar kerja, data deskriptif, sertifikat, metoda, contoh material, hasil perhitungan, data tes, jadwal, foto mengenai kemajuan pekerjaan, deskripsi prosedural, dan instruksi manufaktur. Jika kontraktor memakai material yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan tidak menjelaskan ketidaksesuaian tersebut dalam laporannya, persetujuan terhadap laporan yang diberikan tidak dapat melepaskan kontraktor bertanggung jawab atas pemakaian material tersebut.
3.3.2. Pedoman Pengoperasian dan Pemeliharaan
Proyek yang memakai peralatan mekanis umumnya menyertakan persyaratan kontrak kepada kontraktor agar menyediakan manual pengoperasian dan pemeliharaan terhadap peralatan yang disediakannya. Informasi-informasi khusus mengenai peralatan tersebut juga harus disertakan. Umumnya pegangan ini berisi antara lain nama dan lokasi manufaktur, wakil manufaktur, penyalur terdekat, tempat suku cadang, rekomendasi pemasangan, penyesuaian, kalibrasi, prosedur jika terjadi gangguan listrik.
3.3.3. Gambar Hasil Pelaksanaan
Perbedaan antara gambar asli dan hasil pelaksanaan umumnya disebabkan perubahan dari pemilik dan kesalahan dalam meng-identifikasi kondisi yang sesungguhnya. Gambar hasil pelaksanaan, atau lebih dikenal dengan sebutan As Built Drawing - ABD, sangat membantu saat perbaikan atau modifikasi dilakukan setelah proyek selesai.
LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksudkan dengan persyaratan umum dalam dokumen kontrak?
2. Apa yang dimaksudkan dengan persyaratan khusus dalam dokumen kontrak?
3. Apa yang dimaksudkan dengan Gambar rencana (plans, blueprint)?
4. Apa yang dimaksudkan dengan Spesifikasi Teknis?
5. Sebutkan informasi yang perlu dalam spesifikasi teknis antara lain!
RANGKUMAN
1. Kesepakatan hanya dapat dilanjutkan dalam bentuk perjanjian/kontrak bila memenuhi dua aspek utama, yaitu saling menyetujui (mutual contract) dan ada penawaran dan peneriman (offer and acceptance). Pemutusan kontrak dapat terjadi dengan sendirinya (by default) atau karena pertimbangan lain
2. Pelanggaran-pelanggaran yang bersifat immaterial, dengan berbagai pertimbangan pemilik dapat memilih untuk menghentikan/memutuskan kontrak. Hal tersebut tentunya harus disertai dengan ganti rugi yang memadai bagi pihak kontraktor.
3. Dokumen kontrak pada dasarnya terdiri dari Lembar Perjanjian, Gambar-gambar rencana, Syarat-syarat umum, Syarat-syarat khusus, Spesifikasi teknis dan Adendum
TES FORMATIF
1. Dokumen kontrak pada dasarnya terdiri dari hal-hal dibawah ini, kecuali:
a) Lembar Perjanjian
b) Syarat-syarat umum
c) Syarat-syarat khusus
d) Neraca perusahaan
2. Yang tidak termasuk dalam gambar-gambar rencana suatu proyek pembangunan gedung adalah
a)Pekerjaan Logistik
b) Pekerjaan Struktural
c)Pekerjaan Arsitektural
d) Pekerjaan Mekanikal (plumbing, HVAC) dan Pekerjaan Elektrikal
3. Informasi yang perlu diketengahkan dalam spesifikasi teknis antara lain:
a) Alamat Perusahaan
b) Kualitas agregat
c) Neraca Perusahaan
d) Jumlah Tenaga Ahli Perusahaan
4. Beberapa hal dalam spesifikasi yang sering membingungkan dan menimbulkan persoalan terhadap kontraktor adalah sebagai berikut, kecuali:
a)Spesifikasi mensyaratkan model yang sudah tidak diproduksi lagi.
b) Kata-kata atau terminologi yang sulit untuk diinterpretasikan/ mempunyai makna ganda
c)Jumlah alat dan tenaga kerja
d) Adanya pertentangan antara spesifikasi dengan gambar rencana.
5. Kewajiban kontraktor dalam kegiatan konstruksi adalah:
a) Membuat dan menyerahkan laporan
b) Membuat gambar rencana
c) Membuat spesifikasi teknis
d) Membuat RAB
UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 3.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 3, terutama bagian yang belum anda kuasai.
KUNCI JAWABAN
Latihan Soal
1. Persyaratan umum adalah bagian ari dokumen kontrak yang memuat mengenai hak, wewenang dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak pelaksanaan proyek, yaitu pemilik proyek, wakil pemilik dan kontraktor.
2. Persyaratan khusus adalah bagian ini berisikan hal-hal khusus yang ada pada proyek yang akan dibangun, yang menunjukan kekhususan banguan tersebut dibandingkan bangunan' lain yang sejenis. Bagian ini berfungsi memperkuat dan menambah persyaratan umum yang telah ada.
3. Gambar rencana (plans blueprint) merupakan sumber informasi utama untuk mengetahui bentuk fisik, kuantitas dan gambaran visual dari suatu proyek.
4. Spesifikasi teknis adalah deskripsi tertulis mengenai aspek kualitas berbagai item dari proyek konstruksi, sedang aspek kuantitatif tercermin dari gambar-gambar rencana yang melengkapi spesifikasi teknis.
5. Informasi-informasi yang diperlukan dalam spesifikasi teknis antara lain kualitas beton, kualitas agregat, kualitas cara kerja (pengadukan, penempatan, perawatan), kualitas material yang digunakan untuk test kelembaban, deskripsi material untuk pipa pembuangan, persiapan fondasi tanah, tipe alat berat, persyaratan pemaatan.
Tes Formatif
1. D
2. A
3. B
4. C
5. A
MODUL 4
RESIKO DAN KLAIM KONTRAK KONSTRUKSI
PENDAHULUAN
Dalam penyelenggaraan proyek, kesepakatan yang dicapai dinyatakan dan dituangkan dalam dokumen kontrak. Tetapi selama ini masih sering terjadi perselisihan antara pihak owner dan pihak kontraktor ataupun juga pihak kontraktor saling menyalahkan pihak konsultan. Untuk meminimalisir permasalahaan, sangat penting sekali mengetahui resiko-resiko yang bisa terjadi pada proyek dan apakah resiko-resiko tersebut sudah dicakup dalam pasal kontrak. Risiko merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam setiap proyek. Risiko dikatakan penting karena pasti terjadi pada setiap proyek dan kontraktor sebagai pelaku di dunia konstruksi harus senantiasa mewaspadai efek dari risiko ini dengan menerapkan manajemen risiko yang baik. Resiko adalah suatu kondisi yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi tidak menguntungkan.
1. Resiko yang meliputi Risk and Uncertainty, Risk and Opportunity Manajemen Resiko, Jenis-Jenis Resiko dan Penyebab Resiko Proyek Konstruksi
2. Klaim yang meliputi Unsur-unsur Klaim, Kategori Klaim, Jenis-Jenis Klaim, Faktor-faktor Penyebab Klaim dan Penyelesaian Klaim
Modul Resiko dan Klaim akan dibahas dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan
dapat mengidentifikasi resiko-resiko dalam penyelenggaraan konstruksi, mengurangi resiko, mengalokasikan resiko dan memahami klaim berkaitan dengan kontrak konstruksi.
KEGIATAN BELAJAR 4.1. RESIKO
Untuk memahami konsep risiko/risk dalam proyek konstruksi perlu dipahami pengertian mengenai risiko. Berikut ini dijelaskan pengertian mengenai risiko menurut beberapa sumber. Salim (1993) dalam Djojosoedarso (1999) mendefinisikan risiko sebagai ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa. Pengertian lain menjelaskan bahwa risiko adalah kondisi dimana terdapat kemungkinan keuntungan / kerugian ekonomi atau finansial, kerusakan atau cedera fisik, keterlambatan, sebagai konsekuensi ketidakpastian selama dilaksanakannya suatu kegiatan (Cooper dan Chapman, 1993).
Pengertian risiko dalam konteks proyek dapat didefinisikan sebagai suatu penjabaran terhadap konsekuensi yang tidak menguntungkan, secara finansial maupun fisik, sebagai hasil dari keputusan yang diambil atau akibat kondisi lingkungan di lokasi suatu kegiatan. Jika dikaitkan dengan konsep peluang, “risiko” adalah peluang atau kans / chance terjadinya kondisi yang tidak diharapkan dengan semua konsekuensi yang mungkin muncul yang dapat menyebabkan keterlambatan atau kegagalan proyek (Gray dan Larson, 2000). Kerzner (2001) menjelaskan konsep risiko pada proyek sebagai “ukuran probabilitas dan konsekuensi dari tidak tercapainya suatu sasaran proyek yang telah ditentukan”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa risiko adalah suatu kondisi yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi tidak menguntungkan. Lebih jauh lagi risiko pada proyek adalah “suatu kondisi pada proyek yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi fisik maupun finansial yang tidak menguntungkan bagi tercapainya sasaran proyek, yaitu biaya, waktu, mutu proyek”.
4.1.1. Risk dan Uncertainty
Meskipun risiko memiliki kaitan yang erat dengan ketidakpastian/ uncertainty, keduanya memiliki perbedaan. Ketidakpastian adalah kondisi dimana terjadi kekurangan pengetahuan, informasi, atau pemahaman tentang suatu keputusan dan konsekuensinya (Ritchie dan Marshall, 1993). Risiko timbul karena adanya ketidakpastian, karena ketidakpastian mengakibatkan keragu-raguan dalam meramalkan kemungkinan terhadap hasil-hasil yang akan terjadi di masa mendatang (Djososoedarso, 1999). Semakin tinggi tingkat ketidakpastian maka semakin tinggi pula risikonya (Ritchie dan Marshall, 1993).
4.1.2. Risk dan Opportunity
Kejadian di masa yang akan datang tidak dapat diketahui secara pasti. Kejadian ini atau suatu keluaran / output dari suatu kegiatan / peristiwa dapat berupa kondisi yang baik atau kondisi yang buruk. Jika yang terjadi adalah kondisi yang baik maka hal tersebut merupakan kesempatan baik (opportunity), namun jika terjadi hal yang buruk maka hal tersebut merupakan risiko (Kerzner, 2001).
Risk, Hazard, Peril, dan Losses
Menurut Umar (2001) konsep tersebut dijelaskan sebagai berikut.
- Hazard adalah suatu keadaan bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya peril (bencana).
- Peril (bencana) adalah sutu peristiwa/kejadian yang dapat menimbulkan kerugian (losses) atau bermacam kerugian.
- Losses (kerugian) adalah kondisi negatif yang diderita akibat dari suatu peristiwa yang tidak diharapkan tetapi ternyata terjadi.
4.1.3. Manajemen Resiko
Sebagaimana dikemukakan Webb (1994) manajemen risiko adalah “suatu kegiatan yang dilakukan untuk menanggapi risiko yang telah diketahui (melalui rencana analisa risiko atau bentuk observasi lain) untuk meminimalisasi konsekuensi buruk yang mungkin muncul”. Untuk itu risiko harus didefinisikan dalam bentuk suatu rencana atau prosedur yang reaktif. Kerzner (2001) mengemukakan pengertian manajemen risiko sebagai semua rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan risiko, dimana didalamnya termasuk perencanaan (planning), penilaian (assesment) (identifikasi dan dianalisa), penanganan (handling), dan pemantauan (monitoring) risiko.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut dapat disusun konsep manajemen risiko sebagai bentuk pengelolaan terhadap risiko untuk meminimalisasi konsekuensi buruk yang mungkin muncul melalui perencanaan, identifikasi, analisa, penanganan, dan pemantauan risiko.
4.1.4. Jenis-Jenis Resiko
Untuk dapat mengidentifikasi risiko-risiko perlu diketahui jenis- jenis risiko dan pengelompokannya menurut teori-teori. Berikut ini adalah risiko-risiko dalam bidang usaha bisnis. Risiko-risiko pada bidang usaha bisnis dapat diterapkan pada kegiatan proyek konstruksi, karena jasa konstruksi juga merupakan bidang usaha bisnis yang bertujuan mendapatkan keuntungan.
Soeharto (2001) mengelompokkan risiko berdasarkan potensi sumber risiko sebagai berikut resiko dalam bidang manajemen, resiko dalam bidang teknik dan implementasi dan resiko dalam kontrak dan hukum.
Risiko dalam bidang Manajemen
Resiko-resiko yang berkaitan dengan bidang manajemen antara lain adalah:
- Kurang tepatnya perencanaan lingkup pekerjaan, biaya, jadwal, dan mutu
- Kurang tepatnya pengendalian lingkup pekerjaan, biaya, jadwal, dan mutu
- Ketepatan penentuan struktur organisasi
- Ketelitian pemilihan personil
- Kekaburan kebijakan dan prosedur
- Koordinasi pelaksanaan
Risiko dalam bidang Teknis dan Implementasi
Resiko-resiko yang berkaitan dengan bidang teknis dan implementasi adalah:
- Ketepatan pekerjaan dan produk desain-engineering
- Ketepatan pengadaan material dan peralatan (volume, jadwal, harga, dan kualitas)
- Ketepatan pekerjaan konstruksi (jadwal dan kualitas)
- Tersedianya tenaga ahli dan penyelia
- Tersedianya tenaga kerja lapangan
- Variasi dalam produktivitas kerja
- Kondisi lokasi dan site
- Ditemukannya teknologi baru (peralatan dan metode) dalamproses konstruksi dan produksi.
Risiko dalam bidang Kontrak dan Hukum
Risiko yang berkaitan dengan bidang kontrak dan hukum antara lain:
- Pasal-pasal yang kurang lengkap, kurang jelas, dan menimbulkan perbedaan interpretasi
- Pengaturan pembayaran, change order, dan klaim
- Masalah jaminan, guarantee, dan warranty
- Lisensi dan hak paten
- Force majeure
4. Risiko yang berkaitan dengan situasi ekonomi, sosial, dan politik
- Peraturan perpajakan dan pungutan
- Perizinan
- Pelestarian lingkungan
- Situasi pasar (persediaan dan penawaran material dan peralatan)
- Ketidakstabilan moneter/devaluasi
- Aliran kas.
4.1.5. Penyebab Resiko Proyek Konstruksi
Resiko/Ketidakpastian yang terjadi dalam suatu Proyek Konstruksi disebabkan oleh beberapa hal berikut ini: (Krishna, 2005)
- Ketidakjelasan atau kekurangan pada dokumen kontrak.
- Pengaturan kontrak yang tidak sesuai dengan pekerjaan.
- Metode tender yang tidak tepat.
- Pengalihan risiko yang dibebankan sepenuhnya hanya kepada satu pihak yang terlibat dalam kontrak.
- Ketidaksesuaian personil dengan jenis proyek.
- Pengaturan hubungan dan komunikasi antar personil.
- Pembebanan risiko kepada pihak yang tidak memiliki kemampuan untuk Menanggung risiko.
- Kebangkrutan dari salah satu pihak yang terlibat dalam kontrak.
- Koordinasi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, terutama koordinasi lebih dari dua pihak yang terlibat.
- Kesalahan interpretasi dokumen kontrak akibat penulisan yang bermakna vague (tidak jelas) atau akibat adanya perubahan standar dokumen kontrak.
- Adanya klausul yang rancu.
- Pengaturan kontrak lebih menekankan pada metode dibanding hasil akhir.
- Ketidaklengkapan atau ketidakjelasan gambar atau desain yang menimbulkan pertentangan antara gambar struktural, arsitektural dan gambar teknis.
- Kontrak bertujuan mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat, termasuk mengatur alokasi risiko bagi masing-masing pihak yang terikat dalam kontrak.
- Kontrak merupakan suatu trade off antara harga yang ditawarkan kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan dengan kemampuannya untuk menerima risiko.
- Alokasi risiko harus mempertimbangkan pihak yang tepat untuk menanggung risiko tertentu.
- Risiko pada proyek konstruksi harus dibagi secara adil antara klien, tim perancang, kontraktor utama, kontraktor spesialis, dan supplier melalui hubungan kontraktual.
KEGIATAN BELAJAR 4.2. KLAIM
Menurut kamus besar bahasa Indonesiam, WJS Purwadarminta edisi kedua, hal 506 klaim adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (untuk memiliki atau mempunyai) atas sesuatu. Klaim konstruksi adalah permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang bisaanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain.
Beberapa sebab utama terjadinya klaim menurut Prof. H. Priyatna Abdurrasyid adalah sebagai berikut: informasi design yang tidak tepat, informasi design yang tidak sempurna, investigasi lokasi yang tidak sempurna, reaksi klien yang lambat, komunikasi yang buruk, sasaran waktu yang tidak realistis, administrasi kontrak yang tidak sempurna, kejadian eksternal yang tidak terkendali, informasi tender yang tidak lengkap, alokasi risiko yang tidak jelas, Keterlambatan – ingkar membayar. Kebanyakan klaim yang ditemukan dalam proyek konstruksi datang dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa karena satu dan lain sebab. Perubahan-perubahan tidak resmi adalah sebagai berikut:
- Kelambatan atau cacat informasi dari pengguna jasa biasanya dalam bentuk gambar-gambar atau spesifikasi teknis.
- Kelambatan atau cacat informasi dari bahan-bahan atau peralatan yang diserahkan pengguna jasa.
- Perubahan-perubahan permintaan, gambar-gambar atau spesifikasi.
- Perubahan-perubahan kondisi lapangan atau kondisi lapangan yang tidak diketahui.
- Pengaruh reaksi dari pekerjaan yang tidak bersamaan.
- Larangan-larangan metode kerja tertentu termasuk kelambatan atau percepatan pelaksanaan pekerjaan penyedia jasa.
- Kontrak yang memiliki arti mendua atau perbedaan penafsiran.
4.2.1. Unsur-unsur Klaim
Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah klaim mengenai waktu dan biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan berubah, katakanlah volume pekerjaan bertambah atau sifat dan jenisnya berubah, tidak terlalu sulit menghitung berapa tambahan biaya yang diminta penyedia jasa beserta tambahan waktu. Namun terkadang penyedia jasa, disamping mengajukan klaim yang disebut tadi, juga mengajukan klaim sebagai dampak terhadap pekerjaan yang tidak berubah. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut: suatu pekerjaan yang tidak diubah terpaksa ditunda (karena alasan teknis pelaksanaannya dengan adanya pekerjaan lain yang berubah).
Menurut Robert D Gilbreath, unsur-unsur klaim konstruksi tersebut adalah:
- Tambahan upah, material, peralatan, pengawasan, administrasi, overhead dan waktu.
- Pengulangan pekerjaan (bongkar/pasang).
- Penurunan prestasi kerja.
- Pengaruh iklim.
- De-mobilisasi dan Re-mobilisasi. Salah penempatan peralatan.
- Penumpukan bahan.
- De-efisiensi jenis pekerjaan.
4.2.2. Kategori klaim
a. Dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa:
- Pengurangan nilai kontrak.
- Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan
- Kompensasi atas kelalaian penyedia jasa
b. Dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa:
- Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan
- Tambahan kompensasi
- Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.
4.2.3. Jenis-jenis Klaim
Klaim pada industri kontruksi sangat sensentif dan emotif. Fadzilah (1999) mengemukakan bahwa klaim bisa dalam bentuk tambahan biaya oleh kontraktor di luar biaya yang telah ditetapkan dalam kontrak. Klaim ini terdiri dari beberapa jenis yang perlu diketahui agar memudahkan bagi pihak yang terlibat pada industri kontruksi untuk mengontrol jalannya proyek dan mengantisipasi penyelesaian klaim. Konflik-konflik (perselisihan) yang disebabkan berbagai macam hal ini, akan menyebabkan terjadinya sengketa antara pihak pemilik, perencana maupun kontraktor, jika sengketa yang ada dibiarkan berlarut-larut maka akhirnya akan muncul klaim konstruksi dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses konstruksi. Karena terlepas dari besar kecilnya skala proyek, hampir dapat dipastikan akan selalu terjadi klaim, yang mana hal ini tidak dapat dihindari (Wahyuni, 1996). Barry et al. (1990) membagi jenis klaim kedalam 4 kategori utama yaitu ; (a) klaim atas kerugian karena disebabkan oleh perubahan kontrak yang dilakukan oleh pemilik, (b) klaim atas tambahan elemen nilai kontrak, (c) klaim yang dibuat karena perubahan kerja, dan (d) klaim karena Penangguhan proyek.
Perubahan bisa disebabkan oleh penyimpangan pekerjaan dari kontrak semula baik dari aspek skop pekerjaan maupun perubahan desain. Perubahan ini akan meningkatkan biaya dan masa penyelesaian proyek.Rubin et al. (1983) dan (Edward (1999) menjelaskan bahwa perubahan bisa berasal dari pemilik maupun dari yang lain. Diantaranya adalah perubahan kontruksi (Gary (1995) dan Fisk dan Negelle et al. ,1988), perubahan kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan kontrak (Stephen ( 1997) dan Brij (1996)) , perubahan disaian (Barry et al., 1990) dan penghentian pekerjaan proyek Gilbreath et al (1983).
Selain klaim atas penyimpangan dari kontrak, klaim juga bisa dalam bentuk tambahan waktu. Hal ini bisa disebabkan oleh waktu penyelesaian lebih lama dari jadwal Garry (1995), waktu penyelesaian lebih cepat dari jadwal (Powell et al., 1999), gangguan dari lingkungan (Brij, 1996), rendahnya kualitas pekerjaan (Gilberth et al. (1992), rendahnya kualitas material yang di gunakan ( Greeno, 1995) dan (Yates & Lockley, 2002), dan struktur kontruksi (Barry et al., (1990) dan Wyatt (1985). Jenis klaim lainnya bisa berupa klaim keuangan.
4.2.4. Faktor-Faktor Penyebab Klaim
Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak konstruksi pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan yaitu terlaksananya suatu proyek pada harga, kualitas dan waktu yang telah ditetapkan, tetapi dapat juga timbul perbedaan atau salah interprestasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak sehingga menimbulkan perselisihan diantaranya. Perselisihan yang tidak diselesaikan ini dapat menimbulkan klaim (Fisk, 1997).
Sebagian besar klaim yang terjadi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Faktor keterlambatan dapat berasal dari keterlambatan suatu proyek konstruksi dapat disebabkan kurangnya pengalaman pemberi order pekerjaan (Fisk, 1997). Adanya organisasi kerja yang efisien juga ikut mempengaruhi kesuksesan suatu manajemen dalam proyek konstruksi. Oleh sebab itu dalam membentuk suatu organisasi proyek harus diperhatikan bahwa jalur perintah yang ada sebaiknya bersifat langsung dan pendek dan tiap individu sebaiknya diberi wewenang sesuai posisinya (Antill, 1970).
Dokumen kontrak yang tidak jelas dapat menyebabkan adanya keterlambatan dimana hal ini mengakibatkan klaim, misalnya tidak lengkapnya schedulling clause dalam suatu dokumen kontrak (Fisk, 1997). Pemberi order pekerjaan tidak boleh mencampuri rencana yang telah dibuat kontraktor pada pekerjaan yang sifatnya sequential misalnya dengan mengadakan perubahan pada pekerjaan tersebut. Job meeting yang tidak teratur dan tidak dipersiapkan dengan baik sehingga tujuannya menjadi tidak jelas dapat menyebabkan tidak terkoordinirnya pekerjaan (Ahuja, 1984). Apabila kontraktor tidak setuju dengan spesifikasi yang ada, menolak untuk bekerja sama dan tidak mengikutiperaturan yang ada dapat menyebabkan keterlambatan, (Fisk, 1997) kegagalan dari kontraktor untuk dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah tercantum dari kontrak dapat menyebabkan timbulnya klaim, (Antill, 1970). Dalam suatu proyek, seringkali dijumpai adanya perubahan-perubahan pekerjaan, hal ini terjadi karena kondisi sebenarnya yang ada dilapangan baru diketahui setelah pekerjaan berlangsung. Perubahan pekerjaan yang diperintahkan pemberi order pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya pemberi order pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya keterlambatan dari jadwal kemajuan pekerjaan yang telah direncanakan (Antill, 1970). Campur tangan pemberi order pekerjaan ini dapat berupa perintah untuk menggunakan metode yang tidak tercantum dalam kontrak.
Klaim juga dapat timbul karena kontraktor diperintahkan untuk pekerjaan dibawah kondisi dimana kontraktor merasa kondisi tersebut menghambat pekerjaannya. (Ahuja & Walsh, 1983). Penundaan pekerjaan yang disebabkan oleh keterlambatan pengiriman material merupakan salah satu penyebab utama rendahnya produktifitas dan adanya waktu menganggur (Harison, 1981:257, Cristian & Hackey, 1995)
Tidak sempurnanya rencana dan spesifikasi dapat menyebabkan timbulnya klaim dari kontraktor apabila terjadi perubahan order (Ahuja, 1984). Perintah tidak pemberi order pekerjaan untuk mengubah metode yang ada atau memerintahkan kontraktor untuk bekerja dengan suatu metode dimana metode tersebut tidak tercantum dalam kontrak dapat menimbulkan klaim (Ahuja, 1983)
Kondisi fisik di lapangan yang berbeda dari yang tertulis pada dokumen kontrak dapat menjadi suatu masalah, dimana kontraktor berhak mendapat tambahan biaya untuk suatu pekerjaan. Adanya data-data kondisi tanah yang berbeda dari rencana juga dapat mengakibatkan tambahan biaya bahkan menyebabkan keterlambatan di suatu proyek. Perbedaan kondisi lapangan dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu (Fisk, 1997). Hujan lebat atau cuaca yang tidak memungkinkan dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan pekerjaan sehingga terjadi keterlambatan pada proyek (Fisk, 1997) cuaca buruk meskipun dapat dikontrol oleh manajemennya dapatberakibat pada hilangnya hari kerja (Ahuja, 1984).
Adanya aselarasi pekerjaan dalam suatu proses konstruksi dapat menyebabkan klaim (ahuja, 1983). Aselarasi pekerjaan dilakukan kontraktor untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari waktu normal dengan menambah jam kerja atau tenaga kerjanya. Aselerasi dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu: Diceted acceleration, Constructive acceleration, The Contractor Accelerates Valuntarily. Pemberi order pekerjaan dapat memerintahkan kontraktor untuk menangguhkan semua atau sebagian pekerjaan bila dianggap penting.
Ada beberapa alasan untuk menangguhkan pekerjaan diantaranya pemberi order pekerjaan mempunyai anggaran yang terbatas dan memutuskan untuk menghentikan pekerjaan di area tertentu. Penangguhan pekerjaan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu (Fisk, 1997);
(a) Kategori Pertama; Berhubungan dengan kegagalan kontraktor untuk menyelesaikan perintah atau ketetapan yang tercantum pada kontrak,
(b) kategori Kedua; Penangguhan pekerjaan dilakukan berhubungan dengan cuaca yang tidak memungkinkan atau kondisi yang tidak baik misalnya penangguhan pengiriman material akibat adanya banjir (Ahuja, 1984).
Spesifikasi merupakan bagian dari suatu dokumen kontrak yang menerangkan kualitas yang diminta dari suatu proyek yang akan dikerjakan. Spesifikasi merupakan suatu pelengkap dari gambar yang menjelaskan material yang akan dipakai, pekerja-pekerja yang dibutuhkan dan langkah-langkah yang harus diikuti dalam melaksanakan suatu proyek konstruksi (Fisk, 1997). Adanya pekerjaan yang berbeda dari yang telah disebutkan dari spesifikasi atau adanya pekerjaan tambahan yang tidak tercantum dalam dokumen kontrak dapat menyebabkan konflik dalam rencana dan spesifikasi (Ahuja, 1983).
Klaim juga dapat timbul akibat adanya beberapa kontraktor yang bekerja pada suatu proyek yang sama pada saat yang sama dan salah satu kontraktor merasa pekerjaannya dihalangi oleh kontraktor lain. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan pekerjaan pada kontraktor lain (Ahuja & Walsh, 1983). Apabila pemberi order pekerjaan tidak memberikan informasi yang jelas kepada kontraktor misalnya test boring dan penyelidikan tentang kondisi di bawah permukaan tanah dan hal-hal yang ternyata mempengaruhi pekerjaan kontraktor maka hal ini dapat menimbulkan klaim (Ahuja & Walsah, 1983).
Penyebab utama perselisihan antara pemilik dan kontraktor adalah keterlambatan (PTU, 1996). Bila dilihat lagi penyebab keterlambatan ini bermacam-macam. Keterlambatan proyek juga banyak yang disebabkan factor pengembang/pemilik. Misalnya, karena perencanaan yang tidak matang, di tengah jalan pengembang/pemilik yang mengerjakan sendiri, mengatur sendiri pula sub-sub kontraktor. Hal itu sering menyebabkan kesungguhan kontraktor berkurang (PTU, 1996). Keterlambatan terjadi karena berbagai macam hal. Seperti, misalnya perubahan-perubahan desain, kesalahan manajemen, kekurangan peralatan ataupun tenaga ahli maupun karena waktu yang disediakan pemilik memang tidak cukup (Unrealistic Schedule).
Setiap kontraktor mengharapkan untuk menangani pekerjaan yang semua kondisinya berada dalam keadaan yang ideal (driscoll, 1971). Suatu pekerjaan yang dapat diselesaikan tepat waktu dan hanya melibatkan sedikit perubahan dari pemilik yang menghasilkan perubahan-perubahan yang dapat dilihat secara nyata serta sebanding dengan banyaknya uang yang dapat dihemat. Bila dalam suatu proyek pemilik memerintahkan kontraktor untuk melakukan pekerjaan yang tidak tercantum dalam kontrak, maka pemilik diharapkan untuk dapat segera untuk dapat mengeluarkan dokumen perubahan pekerjaan (change oeder issue), dimana dokumen yang berkaitan dengan jumlah perubahan pekerjaan tersebut dimasukkan dalam kontrak dan kontraktor berhak untuk mendapatkan biaya tambahan untuk perubahan pekerjaan yang dilakukan. Dalam hal ini kontraktor tentunya tidak berhak untuk mengajukan klaim karena sudah ada kompensasi dari pemilik. Kontraktor baru dapat mengajukan klaim bila pemilik menunda untuk mengeluarkan dokumen tersebut sehingga menyebabkan kontraktor memperbaiki jadwal kerjanya serta mengeluarkan biaya tambahan.
Manajemen merupakan faktor penting dalam organisasi pemilik ataupun kontrator. Adanya kesalahan manajemen oleh pemilik dapat menyebabkan kontraktor mengajukan klaim kepada pemilik. Demikian pula sebaliknya, adanya kesalahan manajemen pada kontraktor dapat merugikan pemilik dan mengakibatkan timbulnya klaim kepada kontraktor. Bila digunakan sistem kerja ‘fast-track construktion’, dimana sistem ini memungkinkan adanya pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan bersamaan dengan pekerjaan desain, biasanya diperlukan banyak perubahan-perubahan desain. Perubahan-perubahan desain tersebut dapat menyebabkan peselisihan antara pemilik dan kontraktor dan pada akhirnya menyebabkan kontraktor mengajukan klaim.
‘Itikad buruk’ adalah sebab klaim yang berkaitan dengan berbagai tindakan penipuan. Dalam tahun-tahun terakhir ini, klaim ‘itikad buruk’ telah menjadi biasa (Bramble, et al., 1990). Yang termasuk kedalam klaim itikad buruk ini adalah penggelapan, salah pengertian, usaha-usaha yang ditujukan untuk menyusahkan orang lain atau usaha-usaha yang tidak memperhitungkan efek yang timbul terhadap yang lain. Klaim itikad buruk ini dapat berasal dari kontraktor maupun dari pemilik. Ada kontraktor yang merasa dirugikan oleh tindakan pemilik yang dengan sengaja menunda-nunda pembayaran atau bahkan tidak membayar sama sekali pekerjaan yang telah dilaksanakan. Dilain pihak, ada pula pemilik yang merasa dirugikan oleh tindakan kontraktor yang tidak bertanggung jawab.
4.2.5. Penyelesaian Klaim
Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak dalam suatu proyek bila tidak diselesaikan akan menimbulkan klaim dimana hal ini membutuhkan tambahan biaya dan waktu bahkan dapat mempengaruhi kredibilitas pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu klaim sebisa mungkin dihindari dengan meminimumkan kemungkinan yang terjadi, karena klaim bukanlah hal yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (ahuja & Walsh, 1983). Ada beberapa cara yang dilakukan pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengantisipasi terjadinya klaim.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dokumentasi, pengetahuan tentang kontrak, gambaran yang jelas tentang perubahan order, rencana dan penjadwalan, tindakan Proaktif dan presenvation of rights. Untuk menghindari terjadinya klaim diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam mempersiapkan suatu dokumentasi. Adanya dokumentasi yang baik, lengkap dan benar dapat dipakai sebagai alat atau dasar untuk mengetahui adanya kejadian atau perubahan baik yang berupa kemajuan maupun keterlambatan dari proyek tersebut. Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan atau menolak tindakan dari salah satu pihak untuk meminta tambahan waktu dan uang.
Dokumen tentang kontrak harus dibaca secara keseluruhan dan dimengerti sebelum melakukan penawaran untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu (Jergeas, 1994).
Perubahan order dapat mengakibatkan perubahan pada dokumen kontrak karena perubahan order dapat menyebabkan perubahan pada harga yang telah disepakati, perubahan jadwal pembayaran perubahan pada jadwal penyelesaian pekerjaan dan perubahan pada rencana dan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak (Fisk, 1997). Perubahan order ini tidak hanya mengakibatkan adanya tambahan biaya saja tetapi juga akan mengakibatkan tambahan beban pekerjaan, tambahan biaya administrasi, biaya dari adanya tambahan waktu dan biaya-biaya (Jergear & Hartman, 1994).
Suatu rencana dimaksudkan untuk mendapatkan suatu metode pelaksanaan proyek yang sifatnya ekonomis dan hanya membutuhkan sedikit waktu (Deatherage, 1965). Dengan rencana yang baik, maka sumber daya yang cukup dapat disediakan pada saat yang tepat, tersedia cukup waktu untuk setiap aktivitas dan setiap aktivitas dapat dimulai pada saat yang tepat. Rencana juga dapat membantuk untuk memilih metode konstruksi yang ekonomis, memilih peralatan, pengiriman material (Antill & Woodhead, 1970). Semua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak pada dasarnya ingin mendapatkan keuntungan dan sedapat mungkin mengurangi tanggung jawab terhadap kemungkinan terjadinya klaim. Manajer proyek harus mempertimbangkan hal-hal di bawah ini untuk melindungi keuntungan kontraktor dan mengurangi tanggung jawab.
Semua tindakan yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak dan dapat menyebabkan terjadinya klaim harus dicatat dan dilengkapi dengan waktu kejadiannya, hal-hal seperti melakukan pekerjaan yang berbeda dari gambar dan spesifikasi, menggunakan cara atau metode yang berbeda atau lebih mahal, bekerja diluar rencana yang ditetapkan, permintaan untuk berhenti bekerja merupakan tindakan-tindakan yang harus dihindarkan untuk menghindari terjadinya klaim (Jergeas, 1994). Dalam menghadapai masalah konstruksi haruslah diingat bahwa penyelesaian dengan musyawarah jauh lebih baik dari pada mengajuan klaim. Banyak cara untuk menyelesaikan perselisihan dalam suatu proyek. Diperlukan sikap terbuka (open minded) dan keinginan yang kuat dalam menyelesaikan masalah dari pihak terlibat. Adanya kesadaran bahwa dalam menyelesaikan proyek tepat waktu, cost dan standar mutu dan spesifikasi sesuai dengan perjanjian sebelumnya adalah tujuan utamanya (Wahyuni, 1996). Bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat yang sudah dipenuhi, maka perselisihan tersebut tidak akan selesai.
Jika klaim konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera, pihak-pihak yang terlibat harus dilanjutkan ke forum penyelesaian masalah lebih formal. Yang termasuk dalam hal ini adalah : Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan Litigasi.
LATIHAN SOAL
1. Sebutkan bentuk-bentuk resiko!
2. Sebutkan penyebab-penyebab resiko!
3. Sebutkan 3 kategori klaim!
4. Sebutkan bentuk-bentuk klaim dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa!
5. Sebutkan bentuk-bentuk klaim dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa!
RANGKUMAN
1. Resiko proyek adalah suatu kondisi proyek yang timbul karena ketidakpastian dengan peluang kejadian tertentu yang jika terjadi akan menimbulkan konsekuensi fisik maupun finansial yang tidak menguntungkan bagi tercapainya sasaran proyek, yaitu biaya, waktu, mutu proyek
2. Risiko berdasarkan potensi sumber risiko sebagai berikut:
a. Risiko yang berkaitan dengan bidang manajemen
b. Risiko yang berkaitan dengan bidang teknis dan implementasi
c. Risiko yang berkaitan dengan bidang kontrak dan hukum
d. Risiko yang berkaitan dengan situasi ekonomi, sosial, dan politik
3. Kontrak untuk proyek konstruksi menyediakan berbagai teknik untuk mengalokasikan risiko kepada pihak yang paling mampu menangani risiko.
4. Klaim konstruksi adalah permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang biasanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain.
5. Sebagian besar klaim yang terjadi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Faktor keterlambatan dapat berasal dari keterlambatan suatu proyek konstruksi dapat disebabkan kurangnya pengalaman pemberi order pekerjaan.
TES FORMATIF
1. Pengelompokkan resiko berdasarkan potensi sumber risiko menurut Soeharto (2001) yaitu:
a) Resiko dalam bidang manajemen
b) Resiko dalam bidang telekomunikasi
c) Resiko dalam bidang informatika
d) Resiko dalam bidang komputer
2. Resiko/Ketidakpastian yang terjadi dalam suatu Proyek Konstruksi menurut Krishna, 2005 disebabkan oleh beberapa hal berikut ini, kecuali?
a) Ketidakjelasan atau kekurangan pada dokumen kontrak.
b) Pengaturan kontrak yang tidak sesuai dengan pekerjaan.
c) Metode tender yang tepat.
d) Pengalihan risiko yang dibebankan sepenuhnya kepada satu pihak yang terlibat dalam kontrak.
3. Beberapa sebab utama terjadinya klaim menurut Prof. H. Priyatna Abdurrasyid adalah sebagai berikut,kecuali?
a) Informasi design yang tidak tepat
b) Informasi design yang sempurna
c) Investigasi lokasi yang tidak sempurna
d) Komunikasi yang buruk
4. Klaim-klaim konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah klaim?
a) Waktu sebagai akibat perubahan pekerjaan
b) Biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan
c) Pilihan A yang benar
d) A dan B benar.
5. Barry et al. (1990) membagi jenis klaim kedalam 4 kategori utama yaitu?
a) Klaim atas kerugian yang disebabkan perubahan kontrak yang dilakukan pemilik
b) Klaim atas pengurangan elemen nilai kontrak
c) Klaim yang dibuat karena pengurangan item kerja
d) Klaim karena kemajuan proyek.
UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 4.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 4, terutama bagian yang belum anda kuasai.
KUNCI JAWABAN
Latihan Soal
1. Ketidakpastian/ Uncertainty dan Kesempatan/Opportunity
2. Penyebab-penyebab resiko, dokumen kontrak, kontrak, Metode tender, personil, gambar atau desain
3. Klaim dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa, klaim dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa dan klaim dari sub penyedia jasa atau pemasok bahan terhadap penyedia jasa utama
4. Bentuk-bentuk klaim dari pengguna jasa terhadap penyedia jasa sebagai Pengurangan nilai kontrak, Percepatan waktu penyelesaian pekerjaan dan Kompensasi atas kelalaian penyedia jasa
5. Bentuk-bentuk klaim dari penyedia jasa terhadap pengguna jasa sebagai berikut:
Tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan
Tambahan kompensasi
Tambahan konsesi atas pengurangan spesifikasi teknis atau bahan.
Tes Formatif
1. A
2. C
3. B
4. D
5. A
MODUL 5
SENGKETA (DISPUTE) PROYEK KONSTRUKSI
PENDAHULUAN
Ada fenomena bahwa posisi Penyedia Jasa dipandang lebih lemah daripada posisi Pengguna Jasa. Dengan kata lain posisi Pengguna Jasa lebih dominan dari pada posisi Penyedia Jasa. Penyedia Jasa hampir selalu harus memenuhi konsep/draf kontrak yang dibuat Pengguna Jasa karena Pengguna Jasa selalu menempatkan dirinya lebih tinggi dari Penyedia Jasa. Mungkin hal ini diwarisi dari pengertian bahwa dahulu Pengguna Jasa disebut Bouwheer (Majikan Bangunan) sehingga sebagimana biasa “majikan” selalu lebih “kuasa”. Peraturan perundang-undangan yang baku untuk mengatur hak-hak dan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi sampai lahirnya Undang-Undang No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada sehingga asas “Kebebasan Berkontrak” sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1338 dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Sengketa yang terjadi dapat merugikan kedua pihak oleh karena itu perlu untuk mengetahui sengketa yang dapat terjadi pada proyek konstruksi termasuk didalamnya cara penyelesaiannya.
1. Sengketa Konstruksi yang meliputi sengketa berdasarkan kontrak konstruksi, sengketa yang tidak berdasarkan kontrak konstruksi.
2. Penyelesaian sengketa dan alternatifnya;
Pembahasannya akan dilakukan dalam 3x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan bentuk-bentuk kontrak konstruksi termasuk kontrak yang berlaku secara internasional
KEGIATAN BELAJAR 5.1. SENGKETA KONSTRUKSI
Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute. Sengketa konstruksi yang dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang menurut UU no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa. (Nazarkhan Yasin. 2004,Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi)
Konstruksi dimaksud adalah kegiatan jasa konstruksi yang meliputi; Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan pekerjaan konstruksi. Undang-undang tentang Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999 dalam Ketentuan Umum menyebutkan bahwa Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Sedangkan pengertian pekerjaan konstruksi adalah seluruh atau sebahagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. (Undang-Undang Jasa Konstruksi No.18 tahun 1999) Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah melakukan tindakan cidera (wanprestasi atau default).
Proses terjadinya suatu sengketa dan penyelesaian sengketa, menurut Yasin, 2004 yang dikutip dari Mutiasari, 2006:
Gambar 5.1 Perkembangan Kejadian Suatu Sengketa dan Penyelesainya (Yasin, 2004 dalam Mutiasari,2006)
Gambar di atas menunjukkan sengketa yang terjadi berdasarkan adanya kontrak konstruksi.
5.1.1. Sengketa tidak berdasarkan adanya Kontrak Konstruksi
Terdapat aturan hukum yang mengatur agar kegiatan manusia dapat berjalan dengan lancar, termasuk aturan hukum yang berlaku dalam bangunan. Pemerintah berperan sebagai badan yang mengeluarkan peraturan termasuk peraturan yang mengatur pelaksanaan pembangunan (misalnya masalah perijinan). Sengketa dapat timbul dengan pihak pemerintah bila pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan bangunan dianggap tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Mutiasari,2006)
5.1.2. Sengketa berdasarkan Kontrak Konstruksi
Dalam tahapan penyelenggaraan bangunan, selain harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah juga harus mengikuti peraturan yang telah disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak. Sengketa dapat terjadi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, dan sengketa yang terjadi harus segera diselesaikan dan tidak menghambat tahapan penyelenggaraan bangunan.
Selanjutnya, diperlukan pula pengertian mengenai jenis, penyebab, jenis penyelesaian dan lembaga penyelesaian sengketa. Berdasarkan hasil penelitiahn yang telah dilakukan sebelumnya dan literature yang ada (Soekirno,2006; Julianta,2005; Andi,2005; Yasin,2004; Rostiyanti,1998) yang dikutip dalam Mutiara, 2006 didapatkan definisi jenis sengketa konstruksi, penyebab sengketa konstruksi dan jenis penyelesaian serta lembaga penyelesaian sengketa konstruksi sebagai berikut:
1. Jenis sengketa
Jenis sengketa adalah perubahan kontrak yang diminta (klaim) secara tertulis, yang diajukan oleh salah satu pihak pada pihak lain sebagai kompensasi atas “kerugian” atau ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai jenis sengketa, jenis sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 4 jenis sengketa yaitu:
a) Biaya:
· Perubahan nilai kontrak
· Perubahan harga satuan pekerjaan
· Perubahan nilai angsuran pembayaran
b) Waktu:
· Perubahan waktu kontrak
· Perubahan jadwal kegiatan
· Perubahan jadwal pembayaran
c) Lingkup pekerjaan:
· Perubahan jenis pekerjaan
· Perubahan volume
· Perubahan mutu/kualitas
· Perubahan metode pelaksanaan konstruksi
d) Gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa)
· Kombinasi perubahan biaya dan waktu
· Kombinasi perubahan biaya dan lingkup pekerjaan
· Kombinasi perubahan waktu dan lingkup pekerjaan
· Kombinasi perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan
2. Penyebab sengketa
Penyebab sengketa adalah sumber timbulnya permintaan kompensasi secara tertulis atas “kerugian” atau ketidaksesuaia implementasi suatu kontrak konstruksi oleh salah satu pihak pada pihak lain. Sengketa dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 9 (Sembilan) penyebab sengketa sebagai berikut:
a) Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan:
· Pemberian izin
· Permintaan izin
· Tidak adanya izin
b) Penyebab sengketa berkaitan dengan surat perjanjian kerjasama (kontrak):
· Isi surat kontrak tidak jelas
· Isi surat kontrak tidak lengkap
c) Penyebab sengketa berkaitan dengan persyaratan kontrak:
· Isi persyaratan kontrak tidak jelas
· Isi persyaratan kontrak tidak lengkap
d) Penyebab sengketa berkaitan dengan gambar:
· Gambar rencana tidak jelas
· Gambar rencana tidak lengkap
· Gambar kerja tidak jelas
· Gambar kerja tidak lengkap
e) Penyebab sengketa berkaitan dengan spesifikasi:
· Spesifikasi tidak jelas
· Spesifikasi tidak lengkap
· Perubahan spesifikasi
· Persyaratan spesifikasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
f) Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB):
· RAB tidak jelas
· RAB tidak lengkap
· Pengukuran hasil pekerjaan
g) Penyebab sengketa berkaitan dengan administrasi kontrak:
· Berita acara
· Laporan
· Foto/film
h) Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi lapangan:
· Kondisi lapangan tidak sesuai denngan kontrak
· Perubahan kondisi lapangan
· Kondisi lapangan tidak memungkinkan
i) Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi eksternal:
· Perubahan kebijakan pemerintah
· Perubahan harga atau biaya
· pendanaan
3. Jenis penyelesaian sengketa
Secara umum jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) yaitu (UU RI nomor 18 tahun 1999; UU RI nomor 30 tahun 1999)
a) Negosiasi
Negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga namun memerlukan orang yang tepat untuk bernegosiasi.
b) Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
c) Konsiliasi
Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang bertindak sebagai konsiliator. Peranan konsiliator yaitu menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak.
d) Arbitrase
Arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakaat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh seorang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjukan pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Badan arbitrase terdiri dari arbitrator yaitu pengacara, kontraktor, konsultan (engineer) dan konsultan hakim. Arbiter harus memiliki pengetahuan bidang konstruksi dan memahami permasalahan sengketa yang dihadapi.
Terdapat jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) lainnya yang digunakan di luar negeri, yaitu Eastern Distric of New York, 1993; Thomas B. Treacy, 1995; Frederick S. Keith, P. E.,1997) Court-Annexed Arbitration, Early Neutral Evaluation, Mediation, Concensual Jury or Court Trial before a United States Magistrate Judge, Settlement Conferences, Special Masters, Arbritration, Dispute Review Board (by ASCE committee on Contract Administration), Minitrial Summary Jury Trial dan Private Judging.
4. Lembaga penyelesaian sengketa
Lembaga penyelesaian sengketa adalah lembaga yang dapat membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Lembaga penyelesaian sengketa menurut Soekirno, 2006; Widjaja, 2002; Emirzon, 2001; Margono, 2000 yang dikutip dari Mutiara, 2006 adalah sebagai berikut:
a) Negosiator
b) Mediator
c) Konsiliator
d) Lembaga Arbitrase
KEGIATAN BELAJAR 5.2. PENYELESAIAN SENGKETA
Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak dalam suatu proyek bila tidak diselesaikan akan menimbulkan klaim dimana hal ini membutuhkan tambahan biaya dan waktu bahkan dapat mempengaruhi kredibilitas pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu klaim sebisa mungkin dihindari dengan meminimumkan kemungkinan yang terjadi, karena klaim bukanlah hal yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (ahuja & Walsh, 1983).
Ada beberapa cara yang dilakukan pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengantisipasi terjadinya klaim. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah : dokumentasi, pengetahuan tentang kontrak, gambaran yang Jelas tentang perubahan order, rencana dan penjadwalan, tindakan Proaktif dan presenvation of rights. Untuk menghindari terjadinya klaim diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam mempersiapkan suatu dokumentasi. Adanya dokumentasi yang baik, lengkap dan benar dapat dipakai sebagai alat atau dasar untuk mengetahui adanya kejadian atau perubahan baik yang berupa kemajuan maupun keterlambatan dari proyek tersebut.
Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan atau menolak tindakan dari salah satu pihak untuk meminta tambahan waktu dan uang.
Dokumen tentang kontrak harus dibaca secara keseluruhan dan dimengerti sebelum melakukan penawaran untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu (Jergeas, 1994). Perubahan order dapat mengakibatkan perubahan pada dokumen kontrak karena perubahan order dapat menyebabkan perubahan pada harga yang telah disepakati, perubahan jadwal pembayaran perubahan pada jadwal penyelesaian pekerjaan dan perubahan pada rencana dan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak (Fisk, 1997). Perubahan order ini tidak hanya mengakibatkan adanya tambahan biaya saja tetapi juga akan mengakibatkan tambahan beban pekerjaan, tambahan biaya administrasi, biaya dari adanya tambahan waktu dan biaya-biaya (Jergear & Hartman, 1994).
Semua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak pada dasarnya ingin mendapatkan keuntungan dan sedapat mungkin mengurangi tanggung jawab terhadap kemungkinan terjadinya klaim. Manajer poryek harus mempertimbangkan hal-hal
di bawah ini untuk melindungi keuntungan kontraktor dan mengurangi tanggung jawab.
Semua tindakan yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak dan dapat menyebabkan terjadinya klaim harus dicatat dan dilengkapi dengan waktu kejadiannya, hal-hal seperti melakukan pekerjaan yang berbeda dari gambar dan spesifikasi, menggunakan cara atau metode yang berbeda atau lebih mahal, bekerja diluar rencana yang ditetapkan, permintaan untuk berhenti bekerja merupakan tindakan-tindakan yang harus dihindarkan untuk menghindari terjadinya klaim (Jergeas, 1994)
Dalam menghadapai masalah konstruksi haruslah diingat bahwa penyelesaian dengan musyawarah jauh lebih baik dari pada mengajuan klaim. Tujuan yang hendak dicapai bukanlah untuk membuktikan siapa yang benar melainkan penyelesaian masalah yang ada. Banyak cara untuk menyelesaikan perselisihan dalam suatu proyek. Diperlukan sikap terbuka (open minded) dan keinginan yang kuat dalam menyelesaikan masalah dari pihak terlibat. Adanya kesadaran bahwa dalam menyelesaikan proyek tepat waku, cost dan standar mutu dan spesifikasi sesuai dengan perjanjian sebelumnya adalah tujuan utamanya (Wahyuni, 1996). Bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat yang sudah dipenuhi, maka perselisihan tersebut tidak akan selesai.
Jika klaim konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera, pihak-pihak yang terlibat harus dilanjutkan ke forum penyelesaian masalah lebih formal. Yang termasuk dalam hal ini adalah : Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan Litigasi.
Yang dimaksud dengan negosiasi adalah cara penyelesaian yang hanya melibatkan kedua belah pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak-pihak yang lain. Hal ini mirip dengan musyawarah dan mufakat yang ada di Indonesia, dimana keinginan untuk berkompromi, adanya unsur saling memberi dan menerima serta kesediaan untuk sedikit menyingkirkan ukuran kuat dan lemah adalah persyaratan keberhasilan cara ini. Di dalam negosiasi ini kontraktor dan pemilik memakai arsitek dan insinyur sebagai penengah. Biasanya kontraktor diminta mengajukan klaim kepada arsitek/insinyur yang diangkat menjadi negosiator. Arsitek/Insinyur ini akan mengambil keputusan yang sifatnya tidak mengikat, kecuali keputusan tentang ‘efek arstistik’ yang konsisten dengan apa yang telah ada dalam dokumen kontrak.
Mediasi merupakan cara penyelesaian masalah di awal perselisihan berlangsung. Mediasi ini melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak dan dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini akan berusaha menolong pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan penyelesaian, meskipun mediator ini tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Mediasi sama menguntungkannya dengan arbitrasi. Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, murah, tertutup dan ditangani oleh para ahli. Tetapi yang menjadi masalah adalah keputusan mediasi ini tidak mengikat. Jadi apabila persetujuan tidak dapat dicapai, seluruh usaha mediasi hanya akan membuang-buang uang dan waktu.
Arbitrasi adalah metode penyelesaian masalah yang dibentuk melalui kontrak dan melibatkan para ahli dibidang konstruksi. Para ahli tersebut bergabung dalam badan arbitrase. Badan ini akan mengatur pihak-pihak yang telah menandatangani kontrak dengan klausul arbitrasi didalamnya untuk melakukan arbitrasi dan menegakkan keputusan arbitrator. Hal yang menguntungkan dari cara arbitrasi ini adalah sifat penyelesaiannya yang cepat dan murah jika dibandingkan dengan litigasi. Selain itu, cara arbitrasi ini dilakukan secara tertutup serta dilakukan oleh seorang arbitrator yang dipilih berdasarkan keahlian.
Keputusan arbitrasi yang bersifat final dan mengikat merupakan alasan penting digunakannya cara ini untukmenyelesaikan masalah. Keputusan pengadilan biasanya terbuka untuk proses peradilan yang lebih panjang. Hal ini menghasilkan penundaan yang lama dan memakan biaya dalam penyelesaian masalah. Sedangkan keputusan dari arbitrasi ini tidak dapat dirubah tanpa semua pihak setuju untuk membuka kembali kasusnya.
Litigasi adalah proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan. Proses ini sebaiknya diambil sebagai jalan akhir bila keseluruhan proses diatas tidak dapat menghasilkan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa. Proses pengadilan ini tentu saja akan mengakibatkan salah satu pihak menang dan yang lain kalah. Biasanya perselisihan yang terjadi disidangkan pada system yuridis di daerah mana masalah tersebut terjadi. Pada suatu wilayah tertentu pengadilan wilayah tersebut mendapat yuridikasi atas suatu masalah bila salah satu pihak berkantor di wilayah tersebut atau proyeknya sendiri ada pada daerah itu. Jika kedua belah pihak yang berselisih berkantor pusat di daerah lain, maka pihak yang memulai litigasi yang memilih forum dimana litigasi itu berlangsung. Lama waktu penyelesaian merupakan hal yang patut diperhitungkan dalam penggunaan cara ini. Tergantung dari yuridiksinya, suatu perselisihan konstruksi yang kompleks dapat menghabiskan waktu antara 2 sampai 6 tahun sebelum mencapai pengadilan (Arditi, 1996). Proses penggalian fakta yang panjang dan detil membuat litigasi ini menjadi sangat mahal. Untungnya, bila ada kesalahan pengadilan dalam peryataannya atau dalam penggunaan prinsip-prisip hukum, pihakpihak yang melakukan litigasi tentunya dapat naik banding.
Sengketa konstruksi dapat diselesaikan melalui beberapa pilihan yang disepakati oleh para pihak yaitu melalui :
Badan Peradilan (Pengadilan);
Arbitrase (Lembaga atau Ad Hoc);
Alternatif Penyelesaian Sengketa (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisasi).
Penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang dimaksud adalah sengketa perdata (bukan pidana). Misalnya, pilihan penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak adalah Arbitrase. Dalam hal ini pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa tersebut sesuai Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 3.
KEGIATAN BELAJAR 5.3. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Karena berbagai kelemahan yang melekat pada badan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, baik kelemahan yang dapat diperbaiki ataupun tidak, maka banyak kalangan yang ingin mencari cara lain atau institusi lain dalam menyelesaikan sengketa di luar badan-badan pengadilan. Dan model penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang sangat populer adalah apa yang disebut dengan “arbitrase” itu. Akan tetapi, institusi arbitrase bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadian. Masih banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sungguhpun tidak sepopuler lembaga arbitrase.
Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dan yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja penyelesai sengketa alternatif juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
a. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil.
b. Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa alternatif tertentu wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat sukarela.
c. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau oleh pihak ketiga.
d. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal.
e. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain.
f. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak. (Kanowitz, Leo, 1985 6).
g. Tidak semua model penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut haruslah efisien dan segi waktu, haruslah hemat biaya, haruslah dapat diakses oleh para pihak. (Misalnya tempatnya jangan terlalu jauh), haruslah melindungi hak-hak dan para pihak yang bersengketa, haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur, Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengkata, putusannya haruslah final dan mengikat, putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi, putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dan komuniti di mana penyelesaian sengketa alternative tersebut terdapat. (Kanowitz, Leo, 1985:14). Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing alternatif penyelesaian sengketa yang ada nilai plus minusnya.
Di samping itu, model-model alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat campuran di antara berbagai model, juga sering diketemukan. Misalnya apa yang disebut dengan “Med-Arb” yang merupakan bentuk kombinasi antara model mediasi dengan model arbitrase. Atau apa yang disebut dengan “Judicial Arbitration” atau “Court-Annexed Arbitration, yang merupakan bentuk hibrida dan badan pengadilan dan arbitrase. Akan tetapi, apabila tidak berhasil akan dilanjutkan ke dalam bentuk arbitrase di mana pihak konsiliator akan berubah fungsinya menjadi arbiter.
LATIHAN SOAL
1. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa?
2. Sebutkan jenis-jenis sengketa!
3. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa berdasarkan kontrak konstruksi?
4. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa tidak berdasarkan kontrak konstruksi?
5. Sebutkan 4 cara penyelesaian sengketa!
RANGKUMAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup.
2. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih disukai, dalam Undang-Undang Arbitrase Baru 1999, dinyatakan antara lain bahwa dibandingkan dengan berperkara biasa memalui pengadilan negeri, arbitrase lebih diutamakan oleh pelaku bisnis internasional. Salah satu sebab adalah karena “lebih cepat, murah dan sederhana”.
TES FORMATIF
a) Kontrak
b) Biaya
c) Properti
d) Janji
2. Berikut ini adalah jenis sengketa waktu, kecuali:
a) Perubahan waktu kontrak
b) Perubahan jadwal kegiatan
c) Perubahan jadwal pembayaran
d) Perubahan nilai kontrak
3. Yang tidak termasuk dalam jenis sengketa lingkup pekerjaan yaitu:
a) Perubahan jenis pekerjaan
b) Perubahan volume
c) Perubahan mutu/kualitas
d) Perubahan nilai kontrak
4. Berikut ini yang tidak termasuk dalam penyebab sengketa yaitu
a) Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan
b) Penyebab sengketa berkaitan dengan bangunan
c) Penyebab sengketa berkaitan dengan bank
d) Penyebab sengketa berkaitan dengan asuransi
5. Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB):
a) RAB tidak jelas
b) RAB tidak lengkap
c) Laporan
d) Pengukuran hasil pekerjaan
UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 5.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 5, terutama bagian yang belum anda kuasai.
KUNCI JAWABAN
Latihan Soal
1. Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi
2. Sengketa berkaitan dengan biaya, waktu, lingkup pekerjaan dan gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan
3. Sengketa dapat terjadi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, dan sengketa yang terjadi harus segera diselesaikan dan tidak menghambat tahapan penyelenggaraan bangunan
4. Sengketa dapat timbul dengan pihak pemerintah bila pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan bangunan dianggap tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase
Tes Formatif
1. B
2. D
3. D
4. A
5. C
MODUL 6
PENGADILAN DAN ARBITRASE
PENDAHULUAN
Sengketa konstruksi (construction dispute) adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi. Sengketa konstruksi terjadi karena adanya perbedaan pemahaman, persilisihan pendapat maupun pertentangan antar berbagai pihak yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi. Jika hal ini dibiarkan akan berakibat pada penurunan kinerja secara keseluruhan pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, perbedaan pemahaman, persilisihan pendapat maupun pertentangan sehubungan dengan pekerjaan konstruksi tersebut harus diselesaikan secepatnya dengan hasil akhir yang memuaskan semua pihak yang terlibat didalamnya.
Terdapat 3 (tiga) pilihan dalam menyelesaikan sengketa pekerjaan konstruksi, antara lain melalui Badan Peradilan (Pengadilan) atau Arbitrase (Lembaga Ad Hoc) atau Negosiasi, Mediasi serta Konsiliasi. Modul ini akan membahas mengenai penyelesaian sengketa konstruksi melalui Pengadilan, Arbitrase, termasuk didalamnya keuntungan dan kerugian dari metode-metode tersebut. Pilihan penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang dimaksudkan adalah sengketa perdata (bukan pidana).
Pembahasannya akan dilakukan dalam 2x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan penyelesaian sengketa konstruksi melalui pengadilan dan arbitrase.
KEGIATAN BELAJAR 6.1. PENGADILAN
Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan biasanya merupakan pilihan terakhir dari para pihak karena tidak tercapainya kata sepakat atas sengketa yang terjadi. Pada umumnya, sebelum mengajukan tuntutan atau gugatan ke pengadilan para pihak akan memperingatkan pihak lainnnya melalui surat tertulis atau yang kita kenal dengan SOMASI untuk memperingatkan pihak lainnya agar memenuhi suatu prestasi, somasi biasanya dilakukan sebanyak tiga kali dengan jangka waktu tertentu dan apabila pihak yang diberi peringatan tidak melakukan apa yang diminta maka tuntutan atau gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang. Sebelum melakukan suatu tuntutan atau gugatan melalui pengadilan atas perselisihan konstruksi yang terjadi ada baiknya dimulai dengan melakukan analisa secara mendalam mengenai prosedur hukum acara yang ditempuh agar tuntutan atau gugatan yang akan kita lakukan tidak menjadi sia sia.
Tahapan-tahapan yang harus dilakukan adalah tahapan persiapan, proses persidangan dan proses eksekusi putusan.
6.1.1. Tahapan Persiapan
Berikut ini adalah tahapan persiapan pra gugatan antara lain:
- Tentukan pengadilan mana yang akan dituju untuk mendaftarkan gugatan apabila dalam kontrak telah dipilih secara tegas “ misalnya dalam kontrak terdapat klausula para pihak memilih domisili hukum yang tetap atau tidak berubah pada pengadilan negeri Jakarta selatan dst….” Maka otomatis pengajuan gugatan itu harus dilakukan pada pengadilan negeri Jakarta selatan dalam dunia hukum hal ini dikenal dengan sebutan kompetensi absolut serta tentukan pula mengenai pengadilan daerah mana yang akan dituju untuk mengadili gugatan dimaksud.
- Persiapkan mengenai syarat formal maupun materiil gugatan
- Tentukan posita gugatan atau dalil yang mendasari dilakukannnya gugatan, mendalilkan sesuatu tuntutan dalam gugatan merupakan hal yang sangat penting dengan didukung oleh bukti-bukti otentik baik bukti tertulis, bukti saksi maupun bukti lainnya dan didukung pula oleh dalil hukum yang mengatur baik itu hukum yang mengatur secara umum maupun hukum yang mengatur secara khusus antara para pihak yang bersengketa yang diatur dalam kontrak.
- Tentukan petitum gugatan atau tuntutan apa yang akan kita tuntut dalam melakukan gugatan tuntutan harus berdasarkan dalil yang telah kita dalilkan karena biasanya majelis hakim pada pengadilan negeri tidak akan mengabulkan tuntutan melebihi dari apa yang dimohonkan atau dituntut.
Setelah mempersiapkan hal tersebut diatas kita harus segera menyiapkan surat gugatan yang dapat disimpulkan secara sederhana oleh penulis adalah satu dari permohonan yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang, isinya memuat tanggal surat gugatan, nama dan alamat penggugat dan tergugat, dalil yang mendasari gugatan, hal hal yang dimintakan oleh penggugat untuk dikabulkan pengadilan, dimaterai secukupnya dan ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.
Dalam mempersiapkan suatu tuntutan atau gugatan melalui pengadilan negeri untuk perkara tuntutan atas pembayaran sejumlah uang ada baiknya dalam surat gugatan kita menyampaikan permohonan sita jaminan terhadap harta benda dari tergugat untuk menjamin gugatan yang kita ajukan tidak menjadi sia sia dan hanya menang di atas kertas dan apabila permohonan sita jaminan yang kita ajukan dikabulkan maka akan keluar sutu penetapan tertulis dari pengadilan negeri; Adakalanya sita jaminan ini merupakan hal yang dapat menjadi daya tekan yang cukup bagus untuk memaksa pihak tergugat melaksanakan kewajibannya karena bisaanya sita jaminan ini memiliki efek yang panjang atau serius bagi tergugat;
6.1.2. Proses persidangan
Selanjutnya setelah surat gugatan dibuat dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri yang berwenang dan telah ditentukan majelis hakim yang akan mengadili maka acara selanjutnya adalah pemanggilan para pihak oleh majelis hakim yang akan mengadili sengketa dimaksud dan apabila para pihak menghadiri panggilan dimaksud proses acara sidang pertama menjadi suatu kewajiban bagi majelis hakim untuk mendamaikan para pihak dan diberi waktu untuk saling melakukan proses perdamaian dengan ditunjuk hakim mediasi apabila terjadi perdamaian maka persidangan dihentikan dan segera dibuat akta perdamaian atau banding; Apabila perdamaian dimaksud tidak tercapai maka acara selanjutnya adalah masuk dalam proses persidangan sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu proses jawab menjawab, pembuktian, pengajuan kesimpulan oleh masing masing pihak untuk selanjutnya diambil sebuah keputusan oleh majelis hakim yang mengadili perkara dimaksud proses diatas adalah proses normal dimana para pihak menghadiri persidangan dimaksud namun apabila salah satu pihak tidak menghadiri persidangan maka tetap dapat diambil keputusan oleh majelis hakim dengan jenis putusan Verstek atau putusan yang diambil akibat dari tidak hadirnya salah satu pihak dan upaya hukum atas putusan verstek adalah upaya hukum verzet dan upaya hukum luar biasanya adalah Derden Verzet.
Setelah putusan dibacakan apabila salah satu pihak tidak menerima hasil keputusan dimaksud dapat melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 ( empat belas hari sejak keputusan tingkat pertama dibacakan atau diterima oleh para pihak secara resmi ) dan kasasi dalam jangka waktu 14 ( empat belas hari setelah putusan pada tingkat pengadilan tinggi diterima oleh para pihak secara resmi ) serta upaya hukum luar bisaa yaitu peninjauan kembali apabila ditemukan bukti baru setelah upaya kasasi ditempuh.
Apabila salah satu pihak yang dikalahkan dalam suatu sengketa di pengadilan negeri menerima putusan dimaksud dengan tidak melakukan upaya hukum apapun maka putusan dimaksud telah memiliki kekuatan hukum tetap atau INKRACHT dan acara selanjutnya berlanjut pada prosedur Eksekusi setelah putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap.
6.1.3. Proses Eksekusi Putusan
Eksekusi adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri, bahwa eksekusi itu haruslah diperintahkan secara resmi oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang, sebagai pelaksanaan atas suatu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap atau atas putusan yang dinyatakan dapat dijalankan serta merta walaupun belum ada putusan yang berkekuatan hukum yang tetap.
Eksekusi tidak sama dengan tindakan main hakim sendiri, seperti penarikan barang barang yang dijual dengan sewa beli oleh kreditur kepada debiturnya yang kemudian ditarik dengan berbagai cara seperti ancaman kekerasan, menakut nakuti atau merampas barang itu dari debiturnya. Cara ini bisaa juga dilakukan dengan menggunakan Debt Collector. Perbuatan demikian bukanlah eksekusi, tetapi tindakan metha legal dan dapat dikategorikan melawan hukum. Eksekusi diatur dalam pasal 195 HIR/206 R.Bg. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah menjalankan keputusan pengadilan atas perintah dan dengan dipimpin oleh ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur oleh hukum.
Tahapan selanjutnya adalah tahapan awal proses eksekusi yaitu teguran atau AANMANING yang dilakukan oleh ketua pengadilan negeri secara tertulis pada tereksekusi atau pihak yang dinyatakan kalah dengan memberikan batas waktu pemenuhan keputusan yang disebut masa peringatan dan maa peringatan tidak boleh lebih dari delapan hari sebagaimana yang ditentukan dalam HIR pasal 197/207 RBG. Apabila tereksekusi memenuhi apa yang disampaikan dalam peringatan oleh ketua pengadilan maka proses eksekusi maka proses eksekusi berhenti disini sehingga timbullah pemenuhan eksekusi secara sukarela namun apabila tereksekusi tidak memenuhi peringatan pelaksanaan eksekusi maka dilanjutkan dengan proses SITA EKSEKUSI atau EXECUTRIALE BESLAG.
Menurut Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata” edisi kedua penerbit Sinar grafika Hal 68 menyebutkan bahwa makna sita eksekusi dapat dijelaskan dengan cara menghubungkan ketentuan pasal 197 ayat (1) HIR dengan pasal 200 ayat (1) HIR atau pasal 208 ayat (1) RBG dengan pasal 215 ayat (1) RBG makna sita eksekusi dapat dirangkum sebagai berikut “ sita eksekusi adalah penyitaan harta kekayaan tergugat (pihak yang kalah) setelah dilampaui masa peringatan”
“ Sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang mesti dibayarkan kepada pihak penggugat dan cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan menjual lelang harta kekayaan tergugat yang telah disita “
Selanjutnya ada baiknya setelah kita mengetahui makna dan pengertian eksekusi atas putusan yang dapat dieksekusi kami sampaikan pula hal hal yang menghambat proses eksekusi sebagai berikut :
Dalam praktek dilapangan dan sebagaimana pengalaman penyusun makalah ini bahwa dalam pelaksanaan eksekusi ternyata banyak sekali rintangan rintangan yang dapat menghambat pelaksanaan eksekusi, mulai dari adanya Derden Verzet atau perlawanan dari pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, bantahan atau bahkan peninjauan kembali serta gugatan baru yang kemudian dijadikan alas an untuk menunda pelaksanaan eksekusi.
Disamping itu sering pula ditemui bahwa eksekusi itu dihambat oleh adanya intervensi dari lembaga peradilan itu sendiri misalnya adanya surat perintah penghentian dari ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi atau ketua/wakil ketua Mahkama Agung. Bahkan di lapangan sering dijumpai pelaksanaan eksekusi yang dihalangi atau mendpat perlawanan dengan kekerasan dari pihak tereksekusi atau preman preman sewaannya (megha legal tactic).
Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan (Pengadilan) memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Kelebihan Pengadilan
1. Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku (HIR, Rv)
2. Yang berlaku mutlak adalah system hukum dari Negara tempat sengketa diperiksa
3. Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh administrasi pengadilan
4. Putusan pengadilan ditentukan administrasi pengadilan
5. Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
6. Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win loose
Kelemahan pengadilan
1. Biaya perkara relative murah dan telah ditentukan oleh MARI
2. Tidak adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang memeriksa perkara
3. Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
4. Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara
5. Eksekusi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti dapat dilaksanakan meskipun kemudian ada bantahan atau verzet
KEGIATAN BELAJAR 6.2. ARBITRASE
Menurut Black's Law Dictionary yang dikutip dalam jurnalhukum.blogspot.com, "Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
6.2.1. Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
6.2.2. Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
6.2.3. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
6.2.4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
2. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ; para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
Kelemahan Arbitrase
1. Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative mahal, tolok ukur jumlah umumnya ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak atau dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang lain wajib membayarnya lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh arbitor
2. Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase Ad hoc
3. Tidak memiliki juru sita sendiri sehinggga menghambat penetapan prosedur dan mekanisme apabila Arbitrase secara efektif
4. Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela
5. Eksekusi putusan Arbitrase cenderung mudah untuk diintervansi pihak yang kalah melalui lembaga peradilan (Bantahan, verzet) sehingga waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative bertambah lama.
6. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengeta untuk membawanya ke badan Arbitrase tidaklah mudah, kedua pihak harus sepakat.
7. Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, saat ini di banyak Negara masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi persoalan yang sulit.
KEGIATAN BELAJAR 6.3. HUBUNGAN ARBITRASE DAN PENGADILAN
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
6.3.1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
6.3.2. Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia . Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
Perbandingan kelebihan dan kelemahan antara Arbitrase dan Pengadilan menurut Ir. H. Nazarkhan Yasin, 2004 dalam tabel berikut ini.
Tabel 6.1. Kelebihan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan
ARBITRASE
|
PENGADILAN
|
Bebas dan otonom menentukan rules dan institusi arbitrase
|
Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku
|
Menghindari ketidakpastian (uncertainty) akibat perbedaan sistem hukum dengan negara tempat sengketa diperiksa, maupun kemungkinan adanya keputusan Hakim yang kurang unfair dengan maksud apa pun, termasuk melindungi kepentingan domestik yang terlibat sengketa
|
Yang berlaku mutlak adalah sistem hukum dari Negara tempat sengketa diperiksa
|
Keleluasan memilih arbiter profesional, pakar (expert) dalam bidang yang menjadi objek sengketa, dan independen dalam memeriksa sengketa.
|
Majelis Hakim Pengadilan ditentukan oleh Administrasi Pengadilan
|
Waktu prosedur dan biaya arbiter lebih efisien. Putusan bersifat final dan binding, dan tertutup untuk upaya hukum banding atau kasasi;
|
Putusan pengadilan ditentukan oleh Administrasi pengadilan
|
Persidangan tertutup (non-publicity) dan karenanya memberi perlindungan untuk informasi atau data usaha yang bersifat rahasia atau tidak boleh diketahui umum.
|
Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
|
Pertimbangan hukum lebih mengutamakan aspek privat dengan win-win solution
|
Pola pertimbangan Pengadilan dan Putusan hakim adalah win loose
|
Tabel 6.2. Kelemahan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan
ARBITRASE
|
PENGADILAN
|
Honorarium arbiter, panitera, dan administrasi relatif mahal. Tolok ukur jumlah umumnya ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak atau tidak dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang lain wajib membayarnya lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh arbitrase
|
Biaya perkara relatif murah dan telah ditentukan oleh MARI
|
Relatif sulit untuk membentuk Majelis Arbitrase Ad Hoc
|
Tidak ada hambatan berarti dalam pembentukan Majelis Hakim yang memiksa perkara
|
Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat penerapan prosedur dan mekanisme Arbitrase secara efektif
|
Majelis juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
|
Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif, dan sangat bergantung kepada Pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela
|
Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara
|
Eksekusi Putusan Arbitrase cenderung mudah dan diintervensi pihak yang kalah melalui lembaga peradilan (Bantahan, Verzet) sehingga waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative bertambah lama
|
Eksekusi Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti, dapat dilaksanakan meskipun kemudian ada bantahan atau Verzet
|
LATIHAN SOAL
1. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan biaya yang besar (mahal)?
2. Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa dengan pengadilan lama?
3. Kapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan baru dapat dilakukan?
4. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan di pimpin oleh hakim, siapa yang memimpin penyelesaian sengketa melalui Arbitrase?
5. Dari kedua penyelesaian tersebut mana yang hasilnya win-win solution?
RANGKUMAN
1. Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.
2. Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
3. Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.
TES FORMATIF
1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki keuntungan. Di bawah ini yang merupakan keuntungan pengadilan adalah?
a) Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku
b) Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh pemerintah
c) Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win win
d) Tertutup untuk umum (kecuali kasus cerai)
2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki kelemahan. Di bawah ini yang merupakan kelemahan pengadilan adalah?
a) Biaya perkara relative mahal dan telah ditentukan oleh MARI
b) Adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang memeriksa perkara
c) Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
d) Pelaksanaan putusan tidak dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara
3. Berikut ini yang merupakan bentuk Arbitrase adalah
a) arbitrase sementara (ad-hoc)
b) arbitrasi permanen (intitusi)
c) arbitrase semi permanen
d) jawaban a dan b benar
4. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki keunggulan. Di bawah ini yang merupakan keunggulan arbitrase adalah?
a) keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif tidak dapat dihindari
b) kerahasiaan sengketa para pihak terjamin
c) tempat penyelenggaraan arbitrase ditentukan
d) putusan arbitrase merupakan putusan yang tidak mengikat para pihak
5. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki kelemahan. Di bawah ini yang merupakan kelemahan arbitrase adalah?
a) Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative murah
b) Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase Ad hoc
c) Memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat penetapan prosedur
d) Putusan arbitrase memiliki daya paksa yang efektif
UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 6.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 6, terutama bagian yang belum anda kuasai.
KUNCI JAWABAN
Latihan Soal
1. Penyelesaian melalui pengadilan membutuhkan waktu yang lama, karena memiliki 3 tahapan sehingga menghambat pelaksanaan proyek yang menyebabkan penambahan biaya
2. Harus melalui 3 tahapan dengan waktu tenggang antar tiap tahapan
3. Jika Arbitrase dinyatakan gagal/tidak berhasil
4. Arbitrator
5. Arbitrase
Tes Formatif
1. A
2. C
3. D
4. B
5. B
DAFTAR PUSTAKA
Ahuja, Hira N and Walsh, Michael A. 1983. Succesful Method in cost Engineering. New York, John Wiley & Sons. Inc
Ervianto W.I.,”Manajemen proyek Konstruksi. Andi Offset.2003
FIDIC.
Fisk, Edward R, 1997. Construction Project Administration, Fifth Edition, New Jersey : Prentice Hall.
Gautama Sudargo,1999, “Undang-Undang Arbitrase Baru”, PT.Citra Aditya Bakti. Jakarta.
Harahap, Yahya, 1999, ” Arbitrase”, Pustaka Kartini, Jakarta.
Hinze, J., "Construction Contracs", McGraw-Hill, 1993.
Jergeas, George F and Hartman, Francis T. 1994. “Contractors Construction Claims Avoidance”. Journal of Construction Engineering and Manajement., September, Vol 120, No 3, 553-561.
Jervis, B.M. and, Levin, P., "Construction Law, Principles and Practice", McGraw-Hill, 1988.
Mutiara I., “Studi Sengketa Konstruksi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Tesis, Magister Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, ITB, Bandung, 2006
Pribadi, K.S., ”Resiko Dalam Kontrak Konstruksi”, Bahan Ajar Aspek Hukum, ITB, Bandung, 2007
Soekirno, P., ”Manajemen Bisnis Konstruksi”, Bahan Ajar Manajemen Bisnis Konstruksi, ITB, Bandung, 2005
Undang-Undang No. 18/1999, tentang Jasa Konstruksi.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Wahyuni, Nur. 1996. “Klaim Akan Selalu Timbul”, Konstruksi Oktober . p70-72.
Wahyuni, Nur. 1996. “Pembayaran Tertunda Mmpengaruhi Cashflow Kontraktor”. Konstruksi. Desember, p69-71.
Wilson, Roy L.1982. “Preventation and Resolution of Construction Claims”. Journal of Construction Engineering and
Yasin H. Nazarkhan, 2004, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yasin, H. Nazarkhan, 2004 ”Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yasin, H.N., 2007. “Bentuk-Bentuk Kontrak Konstruksi (Ringkasan), Copyright NY-SS/HK-BKK/V/07”.
Yasin, H.N., 2007. “Tinjauan Standar/Sistim Kontrak Konstruksi Internasional (FIDIC, JCT, AIA, SIA)”,Copyright NY-SS/HK-BKK/V/07”.
Yasin, H.N., 2004. ”Mengenal Kontrak Konstruksi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
SENARAI
AANMANING : Teguran
Acceptance : Penerimaan
Arbitrase : Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase
Arbitrase ad-hoc : Arbitrasi sementara
Arbitrase institusi : Suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri
Arbitrase : Perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa
Change order : Perubahan kerja
Cidera Janji : Tidak terpenuhinya janji/pelanggaran terhadap janji
Contract Termination: Pemutusan Kontrak
Debitur : Pihak/Orang yang berhutang
Dispute : Perselisihan/Sengketa
Eksekusi : Pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri
Employer ; Owner; Bouwheer: Pemilik Pekerjaan
Force majeure : Keadaan memaksa
Guarantee : Garansi
Hazard : Keadaan bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya peril (bencana).
Kompesansi : Penggantian kerugian
Konsiliasi : Upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak
Kontraktor : Pelaksana Pekerjaan
Kreditur : Pihak/orang yang memberi hutang
Liquidated damages : Kerugian terhapus
Litigasi : Proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan
Losses (kerugian) : Kondisi negatif yang diderita akibat dari suatu peristiwa yang tidak diharapkan tetapi ternyata terjadi.
Mediasi : upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator
Mutual consent : Saling menyetujui
Mutual contract : Saling menyetujui
Negosiasi : Upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan
Offer : Penawaran
Opportunity : Peluang/Kesempatan
Peril (bencana) : Peristiwa/kejadian yang dapat menimbulkan kerugian (losses) atau bermacam kerugian.
Risiko : Ketidakpastian
Sita eksekusi : Penyitaan harta kekayaan tergugat (pihak yang kalah) setelah dilampaui masa peringatan
Somasi : Pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur
Supplier : Pihak yang memasok/menyuplai
Turnkey : Kontrak terima jadi
Verstek : Putusan yang diambil akibat dari tidak hadirnya salah satu pihak
Verzet : Upaya hukum atas putusan verstek
Wanprestasi : Prestasi buruk
DAFTAR ISI
Table of Contents
COVER DALAM.................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................... iii
KATA PENGANTAR........................................................................................... iv
DAFTAR ISI........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL.................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. x
PETA KOMPETENSI........................................................................................... xi
TINJAUAN MATA KULIAH............................................................................. xii
LAMPIRAN
· GBPP
· CURICULUM VITAE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar