MODUL 6 PENGADILAN DAN ARBITRASE

MODUL 6

PENGADILAN DAN ARBITRASE


PENDAHULUAN

Sengketa konstruksi (construction dispute) adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi. Sengketa konstruksi terjadi karena adanya perbedaan pemahaman, persilisihan pendapat maupun pertentangan antar berbagai pihak yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi. Jika hal ini dibiarkan akan berakibat pada penurunan kinerja secara keseluruhan pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, perbedaan pemahaman, persilisihan pendapat maupun pertentangan sehubungan dengan pekerjaan konstruksi tersebut harus diselesaikan secepatnya dengan hasil akhir yang memuaskan semua pihak yang terlibat didalamnya.
Terdapat 3 (tiga) pilihan dalam menyelesaikan sengketa pekerjaan konstruksi, antara lain melalui Badan Peradilan (Pengadilan) atau Arbitrase (Lembaga Ad Hoc) atau Negosiasi, Mediasi serta Konsiliasi. Modul ini akan membahas mengenai penyelesaian sengketa konstruksi melalui Pengadilan, Arbitrase, termasuk didalamnya keuntungan dan kerugian dari metode-metode tersebut. Pilihan penyelesaian sengketa harus secara tegas dicantumkan dalam kontrak konstruksi dan sengketa yang dimaksudkan adalah sengketa perdata (bukan pidana).
Pembahasannya akan dilakukan dalam 2x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan penyelesaian sengketa konstruksi melalui pengadilan dan arbitrase.

KEGIATAN BELAJAR 6.1. PENGADILAN

Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan biasanya merupakan pilihan terakhir dari para pihak karena tidak tercapainya kata sepakat atas sengketa yang terjadi. Pada umumnya, sebelum mengajukan tuntutan atau gugatan ke pengadilan para pihak akan memperingatkan pihak lainnnya melalui surat tertulis atau yang kita kenal dengan SOMASI untuk memperingatkan pihak lainnya agar memenuhi suatu prestasi, somasi biasanya dilakukan sebanyak tiga kali dengan jangka waktu tertentu dan apabila pihak yang diberi peringatan tidak melakukan apa yang diminta maka tuntutan atau gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang. Sebelum melakukan suatu tuntutan atau gugatan melalui pengadilan atas perselisihan konstruksi yang terjadi ada baiknya dimulai dengan melakukan analisa secara mendalam mengenai prosedur hukum acara yang ditempuh agar tuntutan atau gugatan yang akan kita lakukan tidak menjadi sia sia.
Tahapan-tahapan yang harus dilakukan adalah tahapan persiapan, proses persidangan dan proses eksekusi putusan.

6.1.1.   Tahapan Persiapan

Berikut ini adalah tahapan persiapan pra gugatan antara lain:
  1. Tentukan pengadilan mana yang akan dituju untuk mendaftarkan gugatan apabila dalam kontrak telah dipilih secara tegas “ misalnya dalam kontrak terdapat klausula para pihak memilih domisili hukum yang tetap atau tidak berubah pada pengadilan negeri Jakarta selatan dst….” Maka otomatis pengajuan gugatan itu harus dilakukan pada pengadilan negeri Jakarta selatan dalam dunia hukum hal ini dikenal dengan sebutan kompetensi absolut serta tentukan pula mengenai pengadilan daerah mana yang akan dituju untuk mengadili gugatan dimaksud.
  2. Persiapkan mengenai syarat formal maupun materiil gugatan
  3. Tentukan posita gugatan atau dalil yang mendasari dilakukannnya gugatan, mendalilkan sesuatu tuntutan dalam gugatan merupakan hal yang sangat penting dengan didukung oleh bukti-bukti otentik baik bukti tertulis, bukti saksi maupun bukti lainnya dan didukung pula oleh dalil hukum yang mengatur baik itu hukum yang mengatur secara umum maupun hukum yang mengatur secara khusus antara para pihak yang bersengketa yang diatur dalam kontrak.
  4. Tentukan petitum gugatan atau tuntutan apa yang akan kita tuntut dalam melakukan gugatan tuntutan harus berdasarkan dalil yang telah kita dalilkan karena biasanya majelis hakim pada pengadilan negeri tidak akan mengabulkan tuntutan melebihi dari apa yang dimohonkan atau dituntut.
Setelah mempersiapkan hal tersebut diatas kita harus segera menyiapkan surat gugatan yang dapat disimpulkan secara sederhana oleh penulis adalah satu dari permohonan yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang, isinya memuat tanggal surat gugatan, nama dan alamat penggugat dan tergugat, dalil yang mendasari gugatan, hal hal yang dimintakan oleh penggugat untuk dikabulkan pengadilan, dimaterai secukupnya dan ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.
Dalam mempersiapkan suatu tuntutan atau gugatan melalui pengadilan negeri untuk perkara tuntutan atas pembayaran sejumlah uang ada baiknya dalam surat gugatan kita menyampaikan permohonan sita jaminan terhadap harta benda dari tergugat untuk menjamin gugatan yang kita ajukan tidak menjadi sia sia dan hanya menang di atas kertas dan apabila permohonan sita jaminan yang kita ajukan dikabulkan maka akan keluar sutu penetapan tertulis dari pengadilan negeri; Adakalanya sita jaminan ini merupakan hal yang dapat menjadi daya tekan yang cukup bagus untuk memaksa pihak tergugat melaksanakan kewajibannya karena bisaanya sita jaminan ini memiliki efek yang panjang atau serius bagi tergugat;

6.1.2.   Proses persidangan

Selanjutnya setelah surat gugatan dibuat dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri yang berwenang dan telah ditentukan majelis hakim yang akan mengadili maka acara selanjutnya adalah pemanggilan para pihak oleh majelis hakim yang akan mengadili sengketa dimaksud dan apabila para pihak menghadiri panggilan dimaksud proses acara sidang pertama menjadi suatu kewajiban bagi majelis hakim untuk mendamaikan para pihak dan diberi waktu untuk saling melakukan proses perdamaian dengan ditunjuk hakim mediasi apabila terjadi perdamaian maka persidangan dihentikan dan segera dibuat akta perdamaian atau banding; Apabila perdamaian dimaksud tidak tercapai maka acara selanjutnya adalah masuk dalam proses persidangan sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu proses jawab menjawab, pembuktian, pengajuan kesimpulan oleh masing masing pihak untuk selanjutnya diambil sebuah keputusan oleh majelis hakim yang mengadili perkara dimaksud proses diatas adalah proses normal dimana para pihak menghadiri persidangan dimaksud namun apabila salah satu pihak tidak menghadiri persidangan maka tetap dapat diambil keputusan oleh majelis hakim dengan jenis putusan Verstek atau putusan yang diambil akibat dari tidak hadirnya salah satu pihak dan upaya hukum atas putusan verstek adalah upaya hukum verzet dan upaya hukum luar biasanya adalah Derden Verzet.
Setelah putusan dibacakan apabila salah satu pihak tidak menerima hasil keputusan dimaksud dapat melakukan upaya hukum yaitu upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 ( empat belas hari sejak keputusan tingkat pertama dibacakan atau diterima oleh para pihak secara resmi ) dan kasasi dalam jangka waktu 14 ( empat belas hari setelah putusan pada tingkat pengadilan tinggi diterima oleh para pihak secara resmi ) serta upaya hukum luar bisaa yaitu peninjauan kembali apabila ditemukan bukti baru setelah upaya kasasi ditempuh.
Apabila salah satu pihak yang dikalahkan dalam suatu sengketa di pengadilan negeri menerima putusan dimaksud dengan tidak melakukan upaya hukum apapun maka putusan dimaksud telah memiliki kekuatan hukum tetap atau INKRACHT dan acara selanjutnya berlanjut pada prosedur Eksekusi setelah putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap.

6.1.3.   Proses Eksekusi Putusan

Eksekusi adalah pelaksanaan secara resmi suatu putusan pengadilan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri, bahwa eksekusi itu haruslah diperintahkan secara resmi oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang, sebagai pelaksanaan atas suatu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap atau atas putusan yang dinyatakan dapat dijalankan serta merta walaupun belum ada putusan yang berkekuatan hukum yang tetap.
Eksekusi tidak sama dengan tindakan main hakim sendiri, seperti penarikan barang barang yang dijual dengan sewa beli oleh kreditur kepada debiturnya yang kemudian ditarik dengan berbagai cara seperti ancaman kekerasan, menakut nakuti atau merampas barang itu dari debiturnya. Cara ini bisaa juga dilakukan dengan menggunakan Debt Collector. Perbuatan demikian bukanlah eksekusi, tetapi tindakan metha legal dan dapat dikategorikan melawan hukum. Eksekusi diatur dalam pasal 195 HIR/206 R.Bg. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa eksekusi adalah menjalankan keputusan pengadilan atas perintah dan dengan dipimpin oleh ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur oleh hukum.
Tahapan selanjutnya adalah tahapan awal proses eksekusi yaitu teguran atau AANMANING yang dilakukan oleh ketua pengadilan negeri secara tertulis pada tereksekusi atau pihak yang dinyatakan kalah dengan memberikan batas waktu pemenuhan keputusan yang disebut masa peringatan dan maa peringatan tidak boleh lebih dari delapan hari sebagaimana yang ditentukan dalam HIR pasal 197/207 RBG. Apabila tereksekusi memenuhi apa yang disampaikan dalam peringatan oleh ketua pengadilan maka proses eksekusi maka proses eksekusi berhenti disini sehingga timbullah pemenuhan eksekusi secara sukarela namun apabila tereksekusi tidak memenuhi peringatan pelaksanaan eksekusi maka dilanjutkan dengan proses SITA EKSEKUSI atau EXECUTRIALE BESLAG.
Menurut Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata” edisi kedua penerbit Sinar grafika Hal 68 menyebutkan bahwa makna sita eksekusi dapat dijelaskan dengan cara menghubungkan ketentuan pasal 197 ayat (1) HIR dengan pasal 200 ayat (1) HIR atau pasal 208 ayat (1) RBG dengan pasal 215 ayat (1) RBG makna sita eksekusi dapat dirangkum sebagai berikut “ sita eksekusi adalah penyitaan harta kekayaan tergugat (pihak yang kalah) setelah dilampaui masa peringatan”
“ Sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang mesti dibayarkan kepada pihak penggugat dan cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan jalan menjual lelang harta kekayaan tergugat yang telah disita “
Selanjutnya ada baiknya setelah kita mengetahui makna dan pengertian eksekusi atas putusan yang dapat dieksekusi kami sampaikan pula hal hal yang menghambat proses eksekusi sebagai berikut :
Dalam praktek dilapangan dan sebagaimana pengalaman penyusun makalah ini bahwa dalam pelaksanaan eksekusi ternyata banyak sekali rintangan rintangan yang dapat menghambat pelaksanaan eksekusi, mulai dari adanya Derden Verzet atau perlawanan dari pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, bantahan atau bahkan peninjauan kembali serta gugatan baru yang kemudian dijadikan alas an untuk menunda pelaksanaan eksekusi.
Disamping itu sering pula ditemui bahwa eksekusi itu dihambat oleh adanya intervensi dari lembaga peradilan itu sendiri misalnya adanya surat perintah penghentian dari ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi atau ketua/wakil ketua Mahkama Agung. Bahkan di lapangan sering dijumpai pelaksanaan eksekusi yang dihalangi atau mendpat perlawanan dengan kekerasan dari pihak tereksekusi atau preman preman sewaannya (megha legal tactic).
Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan (Pengadilan) memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Kelebihan Pengadilan
1.   Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku (HIR, Rv)
2.   Yang berlaku mutlak adalah system hukum dari Negara tempat sengketa diperiksa
3.   Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh administrasi pengadilan
4.   Putusan pengadilan ditentukan administrasi pengadilan
5.   Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
6.   Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win loose
Kelemahan pengadilan
1.   Biaya perkara relative murah dan telah ditentukan oleh MARI
2.   Tidak adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang memeriksa perkara
3.   Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
4.   Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara
5. Eksekusi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti dapat dilaksanakan meskipun kemudian ada bantahan atau verzet

KEGIATAN BELAJAR 6.2.  ARBITRASE

Menurut Black's Law Dictionary yang dikutip dalam jurnalhukum.blogspot.com, "Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau
2.      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.

6.2.1.   Sejarah Arbitrase

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

6.2.2.   Objek Arbitrase

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

6.2.3.   Jenis-jenis Arbitrase

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausularbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjianini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa,sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission ofInternational Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kaliadalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknyaklausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

6.2.4.   Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase

Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1.      kerahasiaan sengketa para pihak terjamin ;
2.      keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari ;
3.      para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil ;
4.      para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya ; para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
5.      putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
Kelemahan Arbitrase
1.       Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative mahal, tolok ukur jumlah umumnya ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak atau dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang lain wajib membayarnya lebih dulu agar sengketa diperiksa oleh arbitor
2.       Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase Ad hoc
3.       Tidak memiliki juru sita sendiri sehinggga menghambat penetapan prosedur dan mekanisme apabila Arbitrase secara efektif
4.       Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif dan sangat bergantung kepada pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela
5.       Eksekusi putusan Arbitrase cenderung mudah untuk diintervansi pihak yang kalah melalui lembaga peradilan (Bantahan, verzet) sehingga waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative bertambah lama.
6.       Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengeta untuk membawanya ke badan Arbitrase tidaklah mudah, kedua pihak harus sepakat.
7.       Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing, saat ini di banyak Negara masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi persoalan yang sulit.






KEGIATAN BELAJAR 6.3. HUBUNGAN ARBITRASE DAN PENGADILAN

Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. 
Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

6.3.1.   Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

6.3.2.   Putusan Arbitrase Internasional

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
Perbandingan kelebihan dan kelemahan antara Arbitrase dan Pengadilan menurut Ir. H. Nazarkhan Yasin, 2004 dalam tabel berikut ini.














Tabel 6.1. Kelebihan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan
ARBITRASE
PENGADILAN
Bebas dan otonom menentukan rules dan institusi arbitrase
Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku
Menghindari ketidakpastian (uncertainty) akibat perbedaan sistem hukum dengan negara tempat sengketa diperiksa, maupun kemungkinan adanya keputusan Hakim yang kurang unfair dengan maksud apa pun, termasuk melindungi kepentingan domestik yang terlibat sengketa
Yang berlaku mutlak adalah sistem hukum dari Negara tempat sengketa diperiksa
Keleluasan memilih arbiter profesional, pakar (expert) dalam bidang yang menjadi objek sengketa, dan independen dalam memeriksa sengketa.
Majelis Hakim Pengadilan ditentukan oleh Administrasi Pengadilan
Waktu prosedur dan biaya arbiter lebih efisien. Putusan bersifat final dan binding, dan tertutup untuk upaya hukum banding atau kasasi;
Putusan pengadilan ditentukan oleh Administrasi pengadilan
Persidangan tertutup (non-publicity) dan karenanya memberi perlindungan untuk informasi atau data usaha yang bersifat rahasia atau tidak boleh diketahui umum.
Terbuka untuk umum (kecuali kasus cerai)
Pertimbangan hukum lebih mengutamakan aspek privat dengan win-win solution
Pola pertimbangan Pengadilan dan Putusan hakim adalah win loose












Tabel 6.2. Kelemahan Arbitrase dibandingkan dengan Pengadilan
ARBITRASE
PENGADILAN
Honorarium arbiter, panitera, dan administrasi relatif mahal. Tolok ukur jumlah umumnya ditentukan oleh nilai klaim (sengketa). Apabila biaya ditolak atau tidak dibayar oleh salah satu pihak, pihak yang lain wajib membayarnya lebih   dulu agar sengketa diperiksa oleh arbitrase
Biaya perkara relatif murah dan telah ditentukan oleh MARI
Relatif sulit untuk membentuk Majelis Arbitrase Ad Hoc
Tidak ada hambatan berarti dalam pembentukan Majelis Hakim yang memiksa perkara
Tidak memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat penerapan prosedur dan mekanisme Arbitrase secara efektif
Majelis juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
Putusan arbitrase tidak memiliki daya paksa yang efektif, dan sangat bergantung kepada Pengadilan jika putusan tidak dijalankan dengan sukarela
Pelaksanaan putusan dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara
Eksekusi Putusan Arbitrase cenderung mudah dan diintervensi pihak yang kalah melalui lembaga peradilan (Bantahan, Verzet) sehingga waktu realisasi pembayaran ganti rugi menjadi relative bertambah lama
Eksekusi Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum yang pasti, dapat dilaksanakan meskipun kemudian ada bantahan atau Verzet

LATIHAN SOAL

1.      Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan biaya yang besar (mahal)?
2.      Apa yang menyebabkan penyelesaian sengketa dengan pengadilan lama?
3.      Kapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan baru dapat dilakukan?
4.      Penyelesaian sengketa melalui pengadilan di pimpin oleh hakim, siapa yang memimpin penyelesaian sengketa melalui Arbitrase?
5.      Dari kedua penyelesaian tersebut mana yang hasilnya win-win solution?




RANGKUMAN

1.      Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.
2.      Peradilan harus menghormati lembaga arbitrase, tidak turut campur, dan dalam pelaksanaan suatu putusan arbitrase masih diperlukan peran pengadilan, untuk arbitrase asing dalam hal permohonan eksekuator ke pengadilan negeri.
3.      Pada prakteknya walaupun pengaturan arbitrase sudah jelas dan pelaksanaannya bisa berjalan tanpa kendala namun dalam eksekusinya sering mengalami hambatan dari pengadilan negeri.

TES FORMATIF

a)      Mutlak terikat pada hukum acara yang berlaku
b)      Majelis hakim pengadilan ditentukan oleh pemerintah
c)      Pola pertimbangan pengadilan dan putusan hakim adalah win win
d)     Tertutup untuk umum (kecuali kasus cerai)
2.      Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki kelemahan. Di bawah ini yang merupakan kelemahan pengadilan adalah?
a)      Biaya perkara relative mahal dan telah ditentukan oleh MARI
b)      Adanya hambatan berarti dalam pembentukan majelis hakim yang memeriksa perkara
c)      Memiliki juru sita dan atau sarana pelaksanaan prosedur hukum acara
d)     Pelaksanaan putusan tidak dapat dipaksakan secara efektif terhadap pihak yang kalah dalam perkara
3.      Berikut ini yang merupakan bentuk Arbitrase adalah
a)      arbitrase sementara (ad-hoc)
b)      arbitrasi permanen (intitusi)
c)      arbitrase semi permanen
d)     jawaban a dan b benar
4.      Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki keunggulan. Di bawah ini yang merupakan keunggulan arbitrase adalah?
a)      keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif tidak dapat dihindari
b)      kerahasiaan sengketa para pihak terjamin
c)      tempat penyelenggaraan arbitrase ditentukan
d)     putusan arbitrase merupakan putusan yang tidak mengikat para pihak
5.      Penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki kelemahan. Di bawah ini yang merupakan kelemahan arbitrase adalah?
a)       Honorarium arbiter, panitera dan administrasi relative murah
b)      Relative sulit untuk membentuk majelis arbitrase lembaga Arbitrase Ad hoc
c)       Memiliki juru sita sendiri sehingga menghambat penetapan prosedur
d)      Putusan arbitrase memiliki daya paksa yang efektif

UMPAN BALIK

Cocokan jawaban anda dengan Kunci Jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 6.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:        
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 %      = baik sekali
80 – 89 %        = baik
70 – 79 %        = cukup
< 70 %             = kurang

TINDAK LANJUT

Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 6, terutama bagian yang belum anda kuasai.

KUNCI  JAWABAN

Latihan Soal
1.      Penyelesaian melalui pengadilan membutuhkan waktu yang lama, karena memiliki 3 tahapan sehingga menghambat pelaksanaan proyek yang menyebabkan penambahan biaya
2.      Harus melalui 3 tahapan dengan waktu tenggang antar tiap tahapan
3.      Jika Arbitrase dinyatakan gagal/tidak berhasil
4.      Arbitrator
5.      Arbitrase

Tes Formatif
1.      A
2.      C
3.      D
4.      B
5.      B



0 comments:

Posting Komentar