Permasalahan hukum sering terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, terutama berkaitan dengan kontrak, salah satu pihak diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan. Oleh karena itu, perlu untuk dipahami mengenai konsep dasar dari aspek hukum dan aspek kontraktual dalam tata hukum/perundangan yang berlaku di Indonesia dan di luar Indonesia serta mahasiswa mampu memetakan peranan aspek legal dan kontraktual dalam kontrak konstruksi. Modul Aspek Hukum dan Kontraktual akan membahas mengenai Sistem Hukum Indonesia yang terdiri dari:
1. Hukum Perdata yang meliputi Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian
2. Perjanjian yang meliputi syarat sahnya perjanjian, akibat dari perjanjian dan berakhirnya perjanjian;
3. Wanprestasi;
4. Somasi;
5. Sanksi dan Ganti Rugi;
6. Hukum dalam Kontrak Konstruksi.
Modul ini akan dibahas dalam 2x pertemuan dan mahasiswa diharapkan untuk belajar secara aktif dan mandiri dengan membaca modul sebelum perkuliahan dan menyelesaikan latihan soal dan tes formatif yang ada setelah perkulihan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan materi tersebut, mahasiswa dapat mengkoreksi jawabannya dengan jawaban yang ada pada kunci jawaban yang telah tersedia. Melalui modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan mengenai aspek hukum dan kontrak pada proyek konstruksi serta memetakan peranan aspek legal dan kontraktual dalam kontrak konstruksi.
KEGIATAN BELAJAR 1.1. HUKUM PERDATA
Sistem Hukum Indonesia pada dasarnya dikelompokkan dalam hukum pidana dan perdata (delik aduan). Dasar hukum di Indonesia adalah Hukum Kontinental (Civil Law-Eropa) yang mengandalkan kitab undang-undang. Dasar hukum lainnya adalah Common Law (Anglo Saxon) yang melandaskan pada Yurisprudensi. Landasan/Sumber Utama hukum yang berlaku saat pemerintahan Belanda pada tahun 1938 yaitu Burgelijk Wetboek yang saat ini disebut Hukum Perdata Indonesia .
1.1.1. Hukum Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata berlaku sejak tahun 1945 yang terdiri dari 1993 pasal dalam 4 buku yaitu tentang ORANG, tentang KEBENDAAN, tentang PERIKATAN dan tentang PEMBUKTIAN DAN DALUWARSA.
Beberapa definisi mengenai hukum perikatan adalah sebagai berikut:
1. Hukum perikatan (Verbintenissenrecht) adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum dengan obyek hukum yang satu dengan lainnya dalam bidang harta kekayaan (hak dan kewajiban). Unsur-unsur yang terdapat dalam hukum perikatan adalah adanya kaidah hukum (tertulis/tidak tertulis), adanya subyek hukum, adanya obyek hukum dan dalam bidang harta kekayaan (hak dan kewajiban).
2. Hukum perikatan yang disadur dari www. konsultasihukum.com, Hukum perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hukum perikatan terdiri dari perihal perikatan dan sumber-sumbernya, macam-macam perikatan, perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang, perikatan yang lahir dari perjanjian, perihal resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa, perihal hapusnya perikatan-perikatan dan beberapa perjanjian khusus yang penting.
Perikatan dalam KUH Perdata:
Ø Perikatan Umum (Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1321 KUH Perdata) mengatur mengenai sumber perikatan, prestasi, penggantian biaya, ganti rugi dan bunga akibat tidak terpenuhinya perikatan dan jenis-jenis perikatan.
Ø Perikatan dari Perjanjian (Pasal 1313 sampai dengan 1351 KUH Perdata) mengatur mengenai ketentuan umum, syarat-syarat sah perjanjian, akibat perjanjian dan penafsiran perjanjian
Kontrak termasuk kontrak pekerjaan konstruksi merupakan bagian dari bentuk kesepakatan. Kontrak pekerjaan konstruksi termasuk dalam hukum PERJANJIAN.
1.1.2. Hukum Perjanjian
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian.
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
KEGIATAN BELAJAR 1.2. PERJANJIAN
1.2.1. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1) Kesepakatan para pihak;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2) Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll);
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3) Menyangkut hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4) Adanya kausa yang halal.
Sahnya kausa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum. (J.Satrio, 1992).
1.2.2. Akibat Perjanjian
Akibat timbulnya perjanjian tersebut, maka para pihak terikat didalamnya dituntut untuk melaksanakannya dengan baik layaknya undang-undang bagi mereka. Hal ini dinyatakan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu:
(1) perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
(2) perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali adanya kesepakatan dari para pihak atau karena adanya alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.
(3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik.
Ketentuan yang ada pada Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata memuat asas-asas dan prinsip kebebasan untuk membuat kontrak atau perjanjian. Dalam hukum perdata pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian baik dari segi bentuk maupun muatan, selama tidak melanggar ketentuan perundang-undangan, kesusilaan, kepatutan dalam masyarakat (lihat Pasal 1337 KUHPerdata).
Setelah perjanjian timbul dan mengikat para pihak, hal yang menjadi perhatian selanjutnya adalah tentang pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Selama ini kerap timbul permasalahan, bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan ketentuan yang dinyatakan dalam perjanjian dan apa yang seharusnya dilakukan jika hal tersebut terjadi? Menurut KUHPerdata, bila salah satu pihak tidak menjalankan, tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian atau pun telah memenuhi kewajibannya namun tidak sebagaimana yang ditentukan, maka perbuatannya tersebut dikategorikan sebagai wanprestasi. Dalam prakteknya untuk menyatakan seseorang telah melanggar perjanjian dan dianggap melakukan wanprestasi, ia harus diberi surat peringatan terlebih dahulu (somasi). Surat somasi tersebut harus menyatakan dengan jelas bahwa satu pihak telah melanggar ketentuan perjanjian (cantumkan pasal dan ayat yang dilanggar). Disebutkan pula dalam somasi tersebut tentang upaya hukum yang akan diambil jika pihak pelanggar tetap tidak mematuhi somasi yang dilayangkan.
Somasi yang tidak diindahkan biasanya akan diikuti dengan somasi berikutnya (kedua) dan bila hal tersebut tetap diabaikan, maka pihak yang dirugikan dapat langsung melakukan langkah-langkah hukum misalnya berupa pengajuan gugatan kepada pengadilan yang berwenang atau pengadilan yang ditunjuk/ditentukan dalam perjanjian. Mengenai hal ini Pasal 1238 KUHPerdata menyebutkan:
”debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Sebagai konsekwensi atas perbuatannya, maka pihak yang telah melakukan wanprestasi harus memberikan ganti rugi meliputi biaya-biaya yang telah dikeluarkan berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, kerugian yang timbul akibat perbuatan wanprestsi tersebut serta bunganya. Dalam Pasal 1243 KUHPerdata disebutkan bahwa penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah ditentukan. Selanjutnya ditegaskan kembali oleh Pasal 1244 KUHPerdata bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya. Berbeda halnya jika terjadi force majeur yaitu dalam keadaan memaksa atau hal-hal yang secara kebetulan satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka keharusan untuk mengganti segala biaya, kerugian dan bunga sebagaimana dinyatakan di atas tidak perlu dilakukan (Pasal 1245 KUHPerdata).
1.2.3. Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu;
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian;
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus;
Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain. Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
2. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja;
e. putusan hakim;
f. tujuan perjanjian telah tercapai;
g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).
KEGIATAN BELAJAR 1.3. WANPRESTASI
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Bentuk wanprestasi menurut Subekti, ada empat macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.
KEGIATAN BELAJAR 1.4. SOMASI
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
1.4.1. Bentuk-Bentuk Somasi
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat perintah
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
KEGIATAN BELAJAR 1.5. SANKSI DAN GANTI RUGI
1.5.1. Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
1.5.2. Ganti Rugi
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl). Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
Menururut ketentuan pasal 1243 KUHPdt, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabilah debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai. Menurut M Yahya Harahap, kewajiban ganti-rugi tidak dengan sendirinya timbul pada saat kelalaian. Ganti-rugi baru efektif menjadi kemestian debitur, setelah debitur dinyatakan lalai dalam bahasa belanda disebut dengan ”in gebrekke stelling” atau ”in morastelling”. Ganti kerugian sebagaimana termaktub dalam pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak, biaya materai, biaya iklan.
2. Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga merusakkan prabot rumah tangga.
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
Dengan demikian untuk menghindari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan batasan-batasan ganti kerugian yang harus oleh debitur sebagai akibat dari kelalaiannya (wanprestasi) yang meliputi:
- Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan (pasal 1247 KUHPdt).
- Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUHPdt. Untuk menentukan syarat ”akibat langsung” dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selaku manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur.
- Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 ayat 1 KUHPdt). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi menurut Yurisprudensi, pasal 1250 KUHPdt tidak dapat diberlakukan terhadap perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum.
KEGIATAN BELAJAR 1.6. HUKUM DAN KONTRAK KONSTRUKSI
Definisi kontrak menurut Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, Kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Kontrak kerja konstruksi menurut UU Jasa Kontruksi No 18 Tahun 1999 adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hokum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kontrak konstruksi mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak tersebut. Kedudukan, hak dan kewajiban dari pihak-pihak tersebut baik itu pengguna jasa dan penyedia jasa adalah sama secara hukum.
Kontrak konstruksi merupakan suatu produk hukum. Elemen (bagian-bagian kontrak merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya, dan merupakan suatu kesatuan yang mengikat karena seluruh elemen kontrak mempunyai kedudukan dan konsekuensi hukum yang sama terhadap masing-masing pihak yang mengikat diri dalam kontrak.
Kontrak konstruksi diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 dan Peraturan No 30 Tahun 2000. Kontrak konstruksi juga diatur dalam Keputusan Presiden No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya.
LATIHAN SOAL
1. Sebutkan 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah!
2. Apa yang dimaksudkan dengan wanprestasi?
3. Sebutkan bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti!
4. Apa yang dimaksudkan dengan somasi?
5. Apa yang dimaksudkan dengan keadaan memaksa?
RANGKUMAN
1. Kontrak pekerjaan konstruksi merupakan bagian dari bentuk kesepakatan. Kontrak pekerjaan konstruksi termasuk dalam hukum PERJANJIAN.
2. Perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
3. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa
4. Kontrak konstruksi mengatur kedudukan para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian kontrak tersebut.
5. Kontrak konstruksi diatur dalam Undang-undang No 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 dan Peraturan No 30 Tahun 2000.
TES FORMATIF
1. Pada tahun berapa hokum perdata mulai berlaku di Indonesia?
a) 1945
b) 1950
c) 1955
d) 1965
2. Berapa jumlah buku yang terdapat dalam Hukum Perdata?
a) 2 buku
b) 3 buku
c) 4 buku
d) 5 buku
3. Perjanjian dinyatakan syah jika memenuhi syarat-syarat berikut. Mana yang bukan merupakan syarat syahnya suatu perjanjian?
a) Kesepakatan para pihak
b) Kecakapan untuk membuat perikatan
c) Menyangkut hal tertentu
d) tidak ada kausal yang halal
4. Apabila debitur melakukan wanprestasi maka sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada debitur?
a) Membayar kerugian yang diderita debitur
b) Pembatalan perjanjian
c) Penangguhan resiko
d) Penangguhan pembayaran
5. Alasan apa yang dapat diajukan oleh seorang debitur yang dituduh wanprestasi untuk membela dirinya?
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach)
b) Mengajukan alasan bahwa debitur sendiri telah lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur tidak melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
d) Mengajukan permintaan penangguhan
UMPAN BALIK
Cocokan jawaban anda dengan kunci jawaban. Hitunglah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda terhadap materi Modul 1.
Untuk latihan soal, setiap soal memiliki bobot nilai yang sama, yaitu 20/soal.
Tes formatif:
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 % = baik sekali
80 – 89 % = baik
70 – 79 % = cukup
< 70 % = kurang
TINDAK LANJUT
Bila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan ke materi selanjutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi modul 1, terutama bagian yang belum anda kuasai.
KUNCI JAWABAN
Latihan Soal
1. Perjanjian dinyatakan sah, jika:
- Kesepakatan para pihak
- Kecakapan untuk membuat perikatan
- Menyangkut hal tertentu
- Adanya kausa yang halal
2. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
3. Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
4. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan dari kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
5. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Tes Formatif
1. A
2. C
3. D
4. B
5. A
0 comments:
Posting Komentar